Jumat, 26 Juni 2015

TERAPI BERMAIN





 TERAPI BERMAIN

A. Pengertian Terapi Bermain
Bermain, selain berfungsi penting bagi perkembangan pribadi, juga memiliki fungsi sosial dan emosional. Melalui bermain anak merasakan berbagi  pengalaman emosi senang, sedih, bergairah, kecewa, bangga, marah dan sebagainya. Melalui bermain pula anak memahami kaitan antara dirinya dan lingkungan sosialnya, belajar bergaul dan memahami aturan ataupun tata cara pergaulan. Selain itu, bermain berkaitan erat dengan perkembangan kognitif anak.

Bermain dapat digunakan sebagai media psikoterapi atau “pengobatan” terhadap anak yang dikenal dengan sebutan terapi bermain. Bermain dapat dijadikan media terapi karena selama bermain perilaku anak akan tampil lebih bebas dan bermain adalah sesuatu  yang secara alamiah sudah terberi pada seorang anak.

Terapi bermain digunakan sebagai psikoterapi untuk membantu mereka yang mengalami masalah trauma, keresahan dan masalah mental. Terapi bermain adalah satu cara kanak-kanak  melumpahkan perasaan mereka dan mencari mekanisme yang dapat membantunya.



B. Contoh Kasus Terapi Bermain


CASSANDRA, seorang anak perempuan berusia 6 tahun dibawa oleh ibunya ke terapis. Orang tuanya berada di ambang perceraian. Ayahnya sering melakukan kekerasan secara fisik dan mental terhadap ibunya. Meskipun Cassandra tidak secara langsung merasakan kekerasan tsb., tetapi dia sering melihat ayahnya marah-marah dan membanting peralatan rumah tangga. Kedua orang tuanya mempunyai sejarah kesehatan mental yang berarti, ayahnya terlibat dalam penggunaan obat terlarang.Dengan fasilitas bermain Cassandra mampu untuk menceritakan kekerasan-kekrasan yang dia saksikan tentang orang tuanya. CS bisa menggunakan lingkaran untuk menggambarkan perasaan sedihnya menyaksikan orang tuanya. Di dalam “buku” kehidupannya CS bisa menggambarkan kehidupannya. Dia juga diajak untuk memisahkan perasaan2nya yang diketahuinya dengan perasaan2 yang diketahui oleh orang lain dengan menuliskannya di kertas dan memasukkannya di dalam “tas”. Di awal CS kesulitan untuk membedakan antara perasaan dengan kejadian. Dengan bantuan terapist CS bisa memisahkan perasaan-perasaan antara yang “inside” dan outside”. Selama terapi, CS dan terapis sering bermain dengan boneka yang di luar cerita seperti yang telah dia saksikan, dan terapis bisa menggunakan informasi tsb. Untuk mengklarifikasi perasaan anak tentang situasi tsb.




ANALISIS KASUS DENGAN TERAPI BERMAIN
Kasus : Anak Hiperaktif (ADHD)
1. Pendekatan
Pada pendekatan ini terapis memulainya dengan raport terlebih dahulu kepada subjek agar subjek merasa nyaman untuk melakukan terapi yaitu dengan memberikan pertanyaan umum seperti menanyakan kabarnya, menanyakan perasaannya selama perjalanan ketempat terapi, identitasnya dan juga memberikan pertanyaan khusus seperti menanyakan tentang minat subjek.

2. Menggali Informasi Subjek
Setelah melakukan pendekatan, terapis mencoba menggali informasi dari ibu subjek mengenai ketertarikannya untuk datang ketempat terapi tersebut, jika setelah ibu subjek memberikan keterangan bahwa subjek sering kali berperilaku yang selalu berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa menggunakannya untuk bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja). Lalu terapis dapat memulai dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka secara mendalam mengenai perilaku anaknya itu, yang tersusun dalam pedoman wawancara, seperti menanyakan. Selain menggunakan pedoman wawancara saat menggali informasi dari subjek terapis juga menggunakan alat tulis.

3. Memilih Terapi yang tepat
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari subjek mengenai perilaku subjek yang selalu berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa menggunakannya untuk bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja), sering memukul dan menendang tanpa alasan bahkan terkadang saat memegang benda juga digunakan untuk melempar atau memukul, makan sambil berlarian dan berantakan seluruh makanannya, tidak memperhatikan jika diberitahu sesuatu, suka berteriak-teriak kasar, dan membanting benda-benda terutama jika permintaannya tidak segera dipenuhi, maka subjek dapat dikategorikan bahwa ia mengalami hiperaktif (ADHD). Dimana ketika subjek berada di sekolah, subjek terlihat kesulitan mengikuti proses belajar karena dia selalu saja berlari dan sulit sekali diminta duduk di kursinya. Guru dan teman-teman lain merasa terganggu karena setiap kali Bona diminta duduk, beberapa detik kemudian sudah berlari-lari lagi keliling ruang kelas sambil mengganggu temannya atau sampai keluar kelas.
Maka dalam kasus ini, subjek dapat dibantu melalui pemberian terapi bermain bagi anak ADHD, yaitu Tujuan dan target setiap sesi terapi bermain harus spesifik berdasarkan kondisi dan ketrampilan anak, dilakukan dengan bertahap, terstruktur dan konsistensi. Salah satu yang perlu diperhatikan pada anak ADHD adalah sensitivitas mereka terhadap perubahan sehingga kita harus membantu menciptakan sesuatu yang rutin untuk mereka. Dalam hal ini konsistensi yang dapat diciptakan terapis misalnya dalam hal waktu, aturan bermain, tempat, dan jumlah alat permainan. Pemilihan ini harus didasarkan pada kondisi anak dan target perilaku yang dituju.
Kasus tersebut saya hubungkan dengan teori terapi bermain. Landreth (2001) berpendapat bahwa bermain sebagai terapi merupakan salah satu sarana yang digunakan dalam membantu anak mengatasi masalahnya, sebab bagi anak bermain adalah simbol verbalisasi. Definisi terapi bermain juga menunjukkan bahwa terapis bermain berusaha untuk mengenali, mengetahui, dan memanfaatkan kekuatan terapi bermain. Ini kekuatan terapi, juga dikenal sebagai mekanisme perubahan, merupakan kekuatan yang aktif dalam bermain yang membantu klien mengatasi kesulitan psikososial dan mencapai perkembangan positif.

4. Pelaksanaan Terapi
Dalam kasus tersebut dilakukan terapi bermain dengan 2 teknik, yaitu teknik bercerita dan teknik bermain. Bercerita secara psikologis membaca atau bercerita merupakan salah satu bentuk bermain yang paling sehat. Kebanyakan anak kecil lebih menyukai cerita tentang orang dan hewan yang dikenalnya. Selain itu karena anak kecil cenderung egosentrik mereka memyukai cerita yang berpusat pada dirinya. Mula-mula anak-anak suka cerita imajinatif yang khayal kemudian seiring dengan berkembangnya kecerdasan dan pengalaman sekolah anak yang lebih besar menjadi realistik, dan minatnya pun beralih ke cerita petualangan, kekerasan, kemewahan dan cinta serta pendidikan. 
Menceritakan cerita memberikan cara yang menyenangkan untuk mengembangkan raport dan belajar tentang anak. Ketika anak menceritakan cerita mereka, mereka mengkomunikasikan informasi penting tentang diri mereka sendiri dan keluarga mereka sambil belajar mengekspresikan dan menguasai perasaan mereka. Dengan mendengarkan cerita anak, terapis dapat memahami lebih baik pertahanan diri anak, konflik anak, dan dinamika keluarga anak. Dalam menganalisis cerita anak, terapis harus mencari tema yang diulang yang dapat memberikan kunci penting tentang perasaan perasaan dan perjuangan anak. 
Terapis harus sangat akrab dan terampil dalam menginterpretasikan komunikasi simbolik secara wajar. Semua ini tergantung pada keterampilan dan pertimbangan terapis.
Bermain selama masa kanak-kanak mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan permainan remaja danorang dewasa. Permainan anak kecil bersifat spontan dan informal. Secara bertahap bermain menjadi semakin formal. Dengan berkembangnya kemampuan berpikir anak, anak mulai mengembangkan permaianan dengan aturan. Permainan individu dan kelompok membantu anak belajar bagaimana membagi kelompok dan bermain dengan aturan. Permainan mengajar anak tentang mendisiplin diri, serta belajar untuk menang dan kalah. Permainan yang diterapkan untuk terapi bermain dapat dimainkan sendiri maupun berkelompok.
Terapis dilakukan dengan beberapa tahap, dan subjek dibantu oleh seluruh anggota keluarga, khususnya ibu subjek yang harus terus berada di samping subjek. membutuhkan ruangan yang nyaman dan tidak bising serta tempat duduk yang nyaman untuk melakukan terapi tersebut. Kemudian terapis membuat target perilaku, dan beberapa perilaku yang menjadi target dalam perubahan perilaku ini adalah:
•Harapan awal dari terapi yaitu subjek mampu membereskan mainan dan barang-barang subjek sindiri. Memasukkan pensil, penghapus, dan buku ke tas setelah digunakan. (Tidak meninggalkan pensil, penghapus, dan buku di meja belajar, meja tamu, atau di ruang lain) Mengembalikan mainan ke wadahnya setelah digunakan. (Tidak melempar-lempar mainan jika tidak digunakan, jika melempar-lempar maka harus mengambil kembali dan dikembalikan ke wadahnya.)
•Mendengarkan orang lain bicara sampai selesai, Menunggu Bapak, Ibu, pembantu, atau teman selesai ketika sedang berbicara tanpa memotong.
•Mengerjakan aktivitas sampai selesai, Menggambar sampai selesai. (Tidak berganti kertas gambar atau meninggalkannya sebelum gambar selesai dibuat.)
Karena program ini berbasis pada sistem aturan maka perilaku yang menjadi target dapat beberapa (tidak hanya satu) dengan catatan setiap target perilaku akan dibuatkan aturan yang detil dan jelas tentang perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan (dalam program yang direncanakan).

5. Evaluasi
Kasus ini akan selalu dievaluasi dan dimonitor menggunakan lembar evaluasi dan lembar monitoring yang dibuat saat perencanaan program (contoh lembar evaluasi dan lembar monitoring terlampir). Evaluasi dan monitoring dilakukan ibu subjek sebagai manajer program dan secara berkala akan didiskusikan bersama terapis untuk melihat efektivitas dan kemajuan program tersebut. Evaluasi dilakukan dalam tahapan yang sistematis, seperti berikut:
•Harapan awal dari terapi yaitu subjek mampu membereskan mainan dan barang-barang subjek sindiri.
•Mendengarkan orang lain bicara sampai selesai.
•Mengerjakan aktivitas sampai selesai.


Rabu, 25 Maret 2015

Psikoterapi & Konseling



Definisi Psikoterapi
Secara etimologis mempunyai arti sederhana yakni “psyche” yang artinya jelas, yaitu “mind” atau sederhananya: jiwa dan “therapy” dari bahasa yunani berarti “merawat” atau “mengasuh”, sehingga psikoterapi dalam arti sempitnya adalah “perawatan terhadap aspek kejiwaannya”.
Menurut watson & morse (1977), psikoterapi adalah bentuk khusus dari interaksi antara dua orang, pasien dan  terapis, padamana pasien memulai interaksi karena ia mencari bantuan psikologik dan terapis menyusun interaksi deng mempergunakan dasar psikologik untuk membantu pasien meningkatkan kemampuan mengendalikan diri dalam kehidupannya dengan mengubah pikiran, perasaan dan tindakan.
Corsini (1989) mengungkapkan psikoterapi sebagai suatu proses formal dan interaksi antara dua pihak yang memiliki tujuan untuk memperbaiki keadaan yang tidak menyenangkan (distress). Sedangkan Wolberg (1967), mengungkapkan bahwa psikoterapi merupakan suatu bentuk perlakuan atau tritmen terhadap masalah yang sifatnya emosional. Dengan tujuan menghilangkan skimtom untuk mengantarai pola perilaku yang terganggu serta meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan pribadi yang positif.

Tujuan Psikoterapi. 
Tujuan dari psikoterapi secara khusus dari beberapa metode dan teknik psikoterapi yang banyak peminatnya, menurut tokoh Corey (1991).
Tujuan psikoterapi dengan pendekatan psikoanalisis adalah membuat sesuatu yang tidak sadar menjadi sesuatu yang disadari. Rekonstruksi kepribadiannya dilakukan terhadap kejadian-kejadian yang sudah lewat dan menyusun sintesis yang baru dari konflik-konflik yang lama.
Tujuan psikoterapi dengan pendekatan tingkah laku adalah secara umum untuk menghilangkan perilaku dan mencari apa yang dapat dilakukan terhadap perilaku yang menjadi masalah. Klien berperan aktif dalam menyusun terapi dan menilai bagaimana tujuan-tujuan ini bisa tercapai.
Tujuan psikoterapi dengan pendekatan Kognitif-Behavioristik dan Rasional-Emotif adalah menghilangkan cara memandang dalam kehidupan pasien yang menyalahkan diri sendiri dan membantunya memperoleh pandangan dalam hidup secara lebih rasional dan toleran. Untuk membantu pasien mempergunakan metode yang lebih ilmiah atau objektif untuk memecahkan masalah emosi dan perilaku dalam kehidupan selanjutnya.
Tujuan psikoterapi dengan pendekatan Gestalt adalah membantu klien memperoleh pemahaman mengenai saat-saat dari pengalamnnya. Untuk merangsangnya menerima tanggung jawab dari dorongan yang ada di dunia dalamnya yang bertentangan dengan ketergantungannya terhadap dorongan-dorongan dari dunia luar.
Tujuan psikoterapi dengan pendekatan Realitas adalah untuk membantu seseorang agar lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Merangsang untuk menilai apa yang sedang dilakukan dan memeriksa sebarapa jauh tindakannya berhasil.
Berbagai literatur lama yang dikemukakan oleh Supriyadi dkk ( 2005) menyebutkan bahwa konseling dan psikoterapi dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu berdasarkan (1) tujuan, (2) klien, konselor dan penyelenggaranya dan (3) metode. Menurut ivey, et al (1987) untuk memberikan jalan terhadap potensi yang dimiliki seseorang menenmukan sendiri arahnya secara wajar dan meenemukan dirinya sendiri yang nyata atau yang ideal dan mengekslorasi emosi yang majemuk serta memberi jalan begi pertumbuhan dirinya yang unik.

Unsur-unsur Psikoterapi.
Dalam psikoterapi, unsur-unsur aktif dalam pekerjaan reparasi emosional ini meliputi hubungan baik dan rasa percaya antara klien dan terapis yang bergerak bersama dengan baik serta terbukanya aliran emosi yang lebih bebas antara klien dengan terapis.
Menurut Masserman ada delapan parameter pengaruh dasar yang mencangkup unsur-unsur lazIm pada semua jenis psikoterapi.
a.       Peran social
b.      Hubungan (Persekutuan tarapeutik)
c.       Hak
d.      Retrospeksi
e.       Reduksi
f.       Rehabilitisi, memperbaiki gangguan perilaku berat
g.      Resosialisasi
h.      Rekapitulasi
Unsur-unsur psikoterapeutik dapat dipilih untuk masing-masing pasien dan dimodifikasi dengan berlanjutnya terapi. Ciri-ciri ini dapat diubah dengan berubahnya tujuan terapiutik, keadaan mental, dan kebutuhan pasien.

Perbedaan antara Psikoterapi dan Konseling
Istilah “psikoterapi” mengandung    arti ganda. Pada satu segi, ia menunjuk pada sesuatu yang jelas, yaitu satu bentuk terapi psikologis, yaitu suatu rentangan waawasan luas tempat hipnotis pada satu titik dan konseling pada titik lainnya.
            Perbedaan antara konseling dan psikoterapi dan segi fokus konserennya dan dasar atau landasan kegiatannya. “Psikoterapi” fokus konserennya melalui penyembuhan -penyeseuaian-pengobatan, Dasar landasannya pskopatologi. “koseling” fokus konserennya pengebangan-pendidikan-pencegahan, dasar landasannya filsafat
Di Amerika dan di Eropa, profesi konselor tidak bisa dipisahkan dari dunia terapi. Richard Nelson (2011) menuliskan; upaya untuk memisahkan konseling dan terapi tidak pernah berhasil sepenuhnya. Konseling dan psikoterapi  merepresentasikan kegiatan yang berbeda, namun keduanya menggunakan model model teoritik yang sama. Konselor dan psikoterapis di Inggris menyatu dalam asosiasi yang sama, karena mereka tidak bisa memisahkan perbedaan mendasar antara mereka. Maka mereka menyatu dalam British Association for Counseling and Psychoterapy. Demikian pula halnya di Australia, konselor dengan psikoterapis bersatu dalam wadah yang satu yang disebut Psychotherapy & Counseling Federation of Australia.
Salah satu ahli yang berupaya membedakan antara konseling dengan psikoterapi adalah Raymond J. Corsini, dalam bukunya Current PsyChoTherapies (1989) ia mencoba membedakan konseling dan psiko terapi hanya dari kuantitas kegiatannya bukan pada kualitas pekerjaanya.

Psikoterapi melakukan berbagai pendekatan terhadap mental illness.
Berikut berbagai macam pendekatan psikoterapi terhadap mental illness menurut J.P. Chaplin , diantaranya:
1.       Biological meliputi keadaan mental organik, penyakit afektif, psikosis dan penyalahgunaan zat. Menurut Dr. John Grey, Psikiater Amerika (1854) pendekatan ini lebih manusiawi. Pendapat yang berkembang waktu itu adalah penyakit mental disebabkan karena kurangnya insulin.
2.       Psychological meliputi suatu peristiwa pencetus dan efeknya terhadap perfungsian yang buruk, sekuel pasca-traumatic, kesedihan yang tak terselesaikan, krisis perkembangan, gangguan pikiran dan respon emosional penuh stres yang ditimbulkan. Selain itu pendekatan ini juga meliputi pengaruh sosial, ketidakmampuan individu berinteraksi dengan lingkungan dan hambatan pertumbuhan sepanjang hidup individu.
3.       Sosiological meliputi kesukaran pada sistem dukungan sosial, makna sosial atau budaya dari gejala dan masalah keluarga. Dalam pendekatan ini harus mempertimbangkan pengaruh proses-proses sosialisasi yang berlatar belakangkan kondisi sosio-budaya tertentu.
4.       Philosophic kepercayaan terhadap martabat dan harga diri seseorang dan kebebasan diri seseorang untuk menentukan nilai dan keinginannya. Dalam pendekatan ini dasar falsafahnya tetap ada, yakni menghagai sistem nilai yang dimiliki oleh klien, sehingga tidak ada istilah keharusan atau pemaksaan. 
Bentuk-bentuk utama dari Terapi.
Berdasarkan tujuan dan pendekatan metodis, Wolberg membagi perawatan psikoterapi menjadi tiga (3) tipe, yaitu :

1. Penyembuhan Supportif (Supportive Therapy)
Merupakan perawatan dalam psikoterapi yang mempunyai tujuan untuk :
a.       Memperkuat benteng pertahanan (harga diri atau kepribadian)
b.      Memperluas mekanisme pengarahan dan pengendalian emosi atau kepribadian
c.       Pengembalian pada penyesuaian diri yang seimbang.

2. Penyembuhan Redukatif (Reeducative Therapy)
Suatu metode pnyembuhan yang mempunyai bertujuan untuk mengusahakan penyesuaian kembali, perubahan atau modifikasi sasaran/tujuan hidup, dan untuk menghidupkan kembali potensi. Adapun metode yang dapat digunakan antara lain
a.       Penyembuhan sikap (attitude therapy)
b.      Wawancara (interview psychtherapy)
c.       Penyembuhan terarah (directive therapy)
d.      Psikodrama, dll
3. Penyembuhan Rekonstruktif (Reconstructive Therapy)
Penyembuhan rekonstruktif mempunyai tujuan untuk menimbulkan pemahaman terhadap konflik yang tidak disadari agar terjadi perubahan struktur karakter dan untuk perluasan pertunbuhan kepribadian dengan mengembangkan potensi. Metode dan teknik pendekatannya antara lain :
a.       Psikoanalisis
b.      Pendekatan transaksional (transactional therapy)
c.       Penyembuhan analitik berkelompok

Sumber :
Corey, Gerald. (2009). Teori Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : Refika Aditama.
Corsini, R.J. & Wedding, D. (2011). Current Psychotherapies. Ed. 9. Belmont : Brooks/Cole.
Maulany, R.F (1997). Buku Saku Psikiatri: Residen Bagian Psikiatri UCLA. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Singgih, Gunarsa. (2004). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Supriyadi T, Indrawati E. (2005). Psikologi Konseling.  Semarang : Antari Cipta Sejati.
Chaplin, J. P. (2006). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.