Jumat, 02 Mei 2014

Pandangan Teoritis Mengenai Tingkah Laku Maladaptive (Abnormal)

Pandangan Teoritis Mengenai Tingkah Laku Maladaptive (Abnormal)
Teori-teori ilmiah diciptakan untuk mengatur apa yang diketahui dan menjelaskan apa artinya. Teori-teori tidak pernah sempurna karena ada cara-cara yang berbeda untuk menjelaskan apa yang diketahui dan selalu ada beberapa bagian yang hilang dari pengetahuan kita. Tetapi, suatu teori sangat berguna meskipun tidak lengkap bilateori tersebut memberikan pandangan untuk memeriksa informasi yang dimiliki. Suatu teori yang baik juga akan membantu kita dalam menentukan informasi baru yang manakah dibutuhkan. Teori teori psikologi abnormal ada banyak. Disini akan dikemukakan enam pandangan teoritis yang sangat berpengaruh dewasa ini terdiri dari pandangan fisiologis, pandangan psikodinamik,pandangan behavioral, pandangan kognitif, pandangan humanistic-eksistensial, dan pandangan masyarakat.
Pendekatan Psikodinamik
Teori psikodinamik didasarkan pada sumbangan-sumbangan Sigmund Freud dan para pengikutnya. Meskipun ada perbedaan-perbedaan di antara para ahli teori psikodinamik, namun mereka memiliki banyak hal yang sama. Semua ahli teori psikodinamik mendukung prinsip determinisme psikis, yakni pandangan bahwa tingkah laku kita (normal atau abnormal)ditentukan oleh hasil dari proses proses dinamik dan konflik-konflik intrapsikis. Dorongan dorongan batin (internal) individu seperti seks dan agresi dalam pandangan psikodinamik bertentangan dengan aturan-aturan sosial (masyarakat) dan norma-norma moral. Aturan-aturan sosial dan norma-norma moral diinternalisasikan sebagai bagian-bagian dari diri individu. Dengan demikian, perjuangan dinamik individu menjadi konflik antara kekuatan-kekuatan internal yang berlawanan. Teori teori psikodinamik juga memusatkan perhatian [pada pentingnya pengalaman awal masa kanak-kanak. Dalam pandangan ini, benih-benih dari gangguan-gangguan psikologis sudah ditanamkan pada tahun-tahun awal pertumbuhan.
Psikoanalisis Freud
Ide-ide pokok Freud mengenai pembentukan dan struktur kepribadian langsung tumbuh dari pengalamannya dalam merawat pasien-pasien neurotik. Agar mudah disajikan, pendekatan Freud terhadap kepribadian diicarakan disini dengan katagori-katagori berikut.
1. Tingkat-tingkat Kegiatan Mental
Dalam hubungan terapeutk, Freud mengamati bahwa kata-kata yang diucapkan oleh banyak pasiennya tidak logis dan orientasinya mengenai waktu dan tempat tidak tepat, serta “tidak sebagaimana semestinya”. Jelaslah bagi Freud bahwa isi pikiran itu tidak mungkin dari kesadarannya, tetapi berasal dari tingka-tingkat kegiatan mental dibawah alam sadar. Ia menyimpulkan bahwa ada tiga macam kegiatan mental, yaitu alam sadar, prasadar, dan ketidak sadaran. Jelas, kesadaran adalah tingkat pemikirandan perbuatan yang nyata dimana bahannya mudah di ingat kembali dan diterapkan bagi tuntutan-tuntutan lingkungan. Keprasadaran adalah kenangan-kenangan yang dapat di ingat kembali maupun agak sulit. Baik bahan sadar atau bahan prasadar adalah sesuai dengan dan responsive terhadap kenyataan. Tetapi, ketidaksadaran berupa sikap-sikap, perasaan-perasaan, dan pikiran-pikiran yang tidak dapat dikontrol oleh kemauan, hanya dengan susah payah ditarik ke dalam kesadaran, tidak terikat oleh hukum logika, dan tidak dapat dibatasi oleh waktu dan tempat.

2. Motivasi
Tingkat-tingkat kehidupan mental dan daerah-daerah pikiran adalah struktur atau komposisi kepribadian. Tetapi kepribadian juga harus melakukan sesuatu. Dengan demikian Freud mengemukakan satu prinsip dinamik atau prinsip motivasional untuk menjelaskan kekuatan-kekuatan yang mendorong di balik tindakan-tindakan manusia. Motivasi bagi kegiatan-kegiatan manusia dalam rumusan Freud dibimbing oleh dua prinsip lain : prinsip kenikmatan dan prinsip kenyataan. Pada Masa bayi, individu hanya didorong oleh kenikmatan, tetapi pada waktunya larangan-larangan hidup memaksanya untuk mengembangkan kesadaran akan kenyataan. Dengan demikian berkembanglah prinsip kenyataan yang menuntut perubahan prinsip kenikamatan dan mengontrol serta menghambat kegiatan-kegiatan yang mencari kenikmatan.
3. Konflik
Hidup adalah suatu rangkaian situasi konflik yang merupakan dasar terbentuknya kepribadian. Bebrapa konflik yang dikemuakakan oleh Freud adalah konflik-konflik antara pencarian kenikamatan dan kenyataan, cinta dan kebencian, pasivitas dan kreatifitas. Pertumbuhan menuju kematangan tergantung pada keberhasilan individu dalam memecahkan konflik-konflik ini.
4. Perkembangan Psikosesual
Freud menggambarkan perkembangan psikosesual individu dalam tiga tahap pokok, yaitu :
  1. Tahap Infantil, tahap ini disebut juga tahap pragenital dan berlangsung selama enam tahun pertama kehidupan yang dibagi lagi menjadi tiga subtahap yakni :
a)      Oral, dimana sumber kenikmatan pokok yang berasal dari mulut adalah makan. Makan ini meliputi stimulasi sentuhan terhadap bibir dan rongga mulut, serta menelan, atau jika makanan tidak menyenangkan, maka ia akan muntah keluar. Dua macam aktivitas oral, yakni menelan makanan dan menggigit merupakan prototype bagi banyak ciri karakter yang berkembang di kemudian hari. Kenikmatan yang diperoleh dari inkoporasi oral yang dipuindahkan ke bentuk-bentuk inkoporasi lain, seperti kenikmatan yang diperoleh karena mendapatkan pengetahuan dan harta. Orang yang mudah ditipu, misalnya adalah orang yang mengalami fiksasi pada taraf kepribadian inkoporatif oral; orang semacam itu menelan hampir semua yang dikatakan. Menggigit atau agresi oral dapat dipindahkan ke dalam bentuk sifat sarkatis dan suka berdebat.
b)     Anal, di tahap ini berprinsip kenyataan adalah dominan. Tahap ini tumpang tindih dengan bagian akhir tahap oral dan berlangsung kira-kira sampai usia empat tahun. Setelah makanan dicerna, maka sisa makanan menumpuk di ujung bawah dari usus dan dikeluarkan secara refleks apabila terkenan tekanan dari otot lingkar yang ada di dubur mencapai taraf tertentu pengeluaran feses menghilangkan sumber ketidaknyamanan dan menimbulkan perasaan lega. Ketika pembiasan kebersihan (toilet training) dimulai, biasanya selama dua tahun anak mendapatkan pengalaman pertama yang menentukan tentang pengaturan atau sebuah impuls instingtual oleh pihak luar. Ia harus belajar menunda kenikmatan yang muncul karena hilangnya tegangan-tegangan anal. Tergantung pada cara khusu pembiasanakan kebersihan yang diterapkan ibu dan perasaan-perasaan ibu tentang defekasi, maka akibat-akibat dari pembiasan ini dapat mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap pembentukan sifat-sifat dan nilai-nilai khusus. Apabila cara sang ibu sangat keras dan represif maka anak mungkin menahan fesesnya dan mengalami sembelit. Apabila cara bereaksi ini digeneralisasikan dengan cara-cara bertingkah laku yang lain, maka anak akan mengembangkan sifat retentive. Ia akan menjadi orang yang keras kepala dan kikir. Atau himpitan cara-cara represif itu anak bisa melampiaskan kemarahannya dengan membuang feses pada saat-saat yang tidak tepat. Sebaliknya, apabila ibu adalah tipe orang yang sabar membujuk anak untuk membuang air besar dan memuji anak secara berlebih-lebihan kalau ananya berbuat demikian (buang air besar) maka anak akan memperoleh pengertian bahwa seluruh aktifitas untuk mengeluarkan feses adalah penting. Ide ini bisa menjadi dasar bagi perkembangan kreativitas dan produktivitas.
c)      Phalik, yang berlangsung antara usia 4 sampai 6 tahun, dimana kepuasan libido muncul pertama-tama dari organ genital. Kenikmatan masrurbasi serta fantasi anak yang menyertai aktifitas auto-erotik menentukan tahap munculnya Oedipus Complex. Oedipus Complex ialah pergeseran dari narisisme kepada kepuasan terhadap objek pertama fantasi itu. Akibatnya anak laki-laki itu melekat pada ibu nya dan menganggap sang ayah sebagai saingan. Situasi yang sama pada perempuan dinamakan Electra Complex. Secara singkat dapat dikatakan, kompleks Oedipus adalah kateksis seksual terhadap orangtua yang berlainan jenis, serta kateksis permusuhan terhadap orang tua sejenis.
  1. Tahap Latensi, tahap ini mulai dari tahap phalik akhir sampai permulaan masa remaja (kira-kira usia 12 tahun). Pada tahap ini dorongan dinamik seakan-akan laten sehingga anak-anak pada masa ini secara relatif lebih mudah di didik dibandingkan dengan tahap-tahap sebelumnya dan sesudahnya.

  1. Tahap Genital, perkembangan psikoseksual individu dianggap sempurna apabila tercapai penyesuaian diri yang memeuaskan pada tahap genital. Dengan memulainya masa pubertas, kebutuhan-kebutuhan seksual infantile (pragenital) dan dorongan-dorongan libido oral, anal, dan phalik hidup kembali. Mula-mula dorongan ini sangat narsisitis, yang berarti bahwa individu mendapat kepuasan dari perangsang dan manipulasi tubuhnya sendiri dan orang-orang lain di kateksis hanya karena membantu memberikan bentuk-bentuk tambahan kenikmatan tubuh bagi anak. Selama adolesen, sebagian dari cinta diri atau narsisme ini disalurkan ke pilihan-pilihan objek yang sebanarnya. Anak remaja mulai mencintai orang-orang lain terdorong oleh motif-motif altruistic bukan semata-mata karena cinta diri atau narisistik. Daya tarik seksual, sosialisasi, kegiatan-kegiatan kelompok, perencanaan karir, dan persiapan untuk menikah dan membangun keluarga mulai muncul. Pada akhir masa adolesen, kateksis-kateksis yang telah di sosialisasikan dan altruistic ini telah menjadi cukup stabil dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan melakukan pemindahan-pemindahan, sublimasi-sublimasi, dan identitifikasi-identifikasi. Meskipun Freud membedakan tahap-tahap perkembangan kepribadian, namun ia mengasumsikan bahwa dalam perkembangan dari suatu tahap ke tahap lain terdapat batas-batas yang tajam atau transisi-transisi yang terjadi tiba-tiba. Organisasi terkahir kepribadian merupakan sumbangan dari tahap-tahap tersebut.
5. Struktur Kepribadian
untuk menerangkan struktur kepribadian, Freud mengemukakan tiga komponen id, ego, superego. Id merupakan rahim tempat ego dan supergo berkembang. Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya sehingga sulit sekali untuk memisah-misahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia. Id dianggap sebagai sumber utama energi fisiologis yang terungkap pada dorongan-dorongan hidup dan dorongan-dorongan hati. Id terus menerus menutup saluran-saluran agresi yang mencari kenikmatan yang mungkin disebut sebagai “binatang dalam manusia”. Id tidak bisa mengulangi peningkatan energi yang dialaminya sebagai keadaan-keadaan tegangan yang tidak menyenangkan. Karena itu, apabila tingkat ketegangan organism meningkat entah sebagai akibat sdari stimulasi dari luar atau rangsangan-rangsangan yang timbul dari dalam, maka id akan bekerja sedemikian rupa untuk segera mengehentikan tegangan dan mengembalikan organisme pada tingkat energi rendah serta menyenangkan.
Ego adalah “aku” atau “diri” dimana individu membedakan dirinya dari lingkungan di sekitarnya dan dengan demikian terbentuklan inti yang mengeintegrasikan kepribadian. Ego itu muncul karena kebutuhan-kebutuhan organisme memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia kenyataan objektif. Ego dikatakan mengikuti prinsip kenyataan (reality principle) dan beroprasi menurut proses sekunder. Tujuan prinsip kenyataan adalah mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocokn untuk pemuasan kebutuhan. Prose sekunder adalah berpikir realistic. Dengan proses sekunder, ego menyusun rencana untuk memuaskan kebutuhan dan kemudian menguji rencana ini, biasanya melalui suatu tindakan untuk melihat apakah rencana itu berhasil atau tidak. Orang yang lapar berpikir dimana ia dapat menemukan makanan dan kemudian pergi ke tempat itu. Ini disebut pengujian terhadap kenyataan (reality testing). Untuk melakukan peranannya secara efisien, ego mengontrol semua fungsi kognitif dan intelektual. Proses-proses jiwa yang lebih tinggi ini dipakai untuk melayani proses sekunder.
Ego disebut eksekutif kepribadiam karena ego mengontrol pintu-pintu ke arah tindakan, memilih segi-segi lingkungan kemana ia akan memberikan respon dan memutuskan insting-insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif yang sangat penting ini ego harus berusaha mengintegrasikan tuntutan id, superego, dan dunia luar yang sering bertentangan. Walaupun demikian harus diingat, ego merupakan bagian id yang terorganiosasi yang hadir untuk memajukan tujuan-tujuan id dan bukan untuk mengecewakannya, dan seluruh dayanya berasal dari id. Tujuan-tujuannya (ego) yang sangat penting adalah mempertahankan kehidupan individu dan memperhatikan bahwa spesies dikembangbiakan.
Superego adalah perwujudan internal dari nilai-nilai dan cita-cita tradisional masyarakat sebagaimanan diterangkan oleh orangtuia kepada anak dan dilaksanakan dengan cara memberinya hadiah-hadiah atau hukuman-hukuman. Dalam pandangan Freud superego adalah wewenang moral atau etis dari kepribadian. Superego dibimbing oleh prinsip-prinsip moralistic dan idealistis yang berlawanan dengan prinsip kenikmatran dari id dan kenyataan dari ego.n superego mencerminkan yang ideal bukan yang real, memperjuangkan kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Superego sebagai wasit tingkah laku yang diinternalisasikan berkembang dengan memberikan respon terhadap hadiah-hadiah dan hukuman-hukuman yang diberikan orangtua. Untuk memperoleh hadiah-hadiah dan menghindari hukuman-hukuman, anak belajar mengarahkan tingkah lakunya menurut garis yang diletakkan orang tuanya. Apapun yang mereka katakan salah, dan menghukum anak karena melakukannya akan cenderung untuk menjadi suara hati si anak. Dengan terbentuknya superego ini maka kontrol diri menggantikan control orang tua.
Superego yang berkembang dengan baik mengontrol impuls-impuls seksual dan agresif melalui proses represi. Ia sendiri tidak melakukan represi, tetapi ia memerintahkan ego untuk melakukannya. Superego memperhatikan ego dengan cermat, menilai tindakan-tindakan dan intense-intensinya. Perasaan-perasaan inferioritas akan muncul bila ego tidak mampu memenuhi norma-norma kesempurnaan superego. Perasaan bersalah adalah fungsi dari suara hati sedangkan perasaan-perasaan inferioritas disebabkan oleh ego ideal (Freud, 1933, 1964).
Suoerego tuidak menghiraukan kebahagiaan dari ego dan ia berjuang secara buta dan tidak realistik terhadap kesempurnaannya. Dikatakan tidak realistic karena ia tidak memikirkan kesulitan-kesulitan dan kemustahilan-kemustahilan yang dihadapi ego dalam melaksanakan perintah-perintahnya. Superego sama seperti id sama sekali tidak menghiraukan kepraktisan dari tuntutan-tuntutannya. (Feist & Feist, 1998).
Fungsi-fungsi pokok superego adalah:
  1. Merintangi impuls-impuls id, terutama impuls-impuls seksual dan agresif karena impuls-impuls ini sangat dikutuk oleh masyarakat.
  2. Mendorong ego untuk menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan tujuan-tujuan moralistik
  3. Mengejar kesempurnaan. Dengan demikian, superego cenderung untuk menentang balik id mapun ego, dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri.
Dalam menyimpulkan gambaran dari ketiga sistem tersebut haruslah di ingat bahwa id, ego, dan supergo tidak dipandang sebagai orang-orangan yang menjalankan kepribadian. Ketiga sistem tersebut hanyalah nama-nama untuk berbagai proses psikologis yang mengikuti prinsip-prinsip sistem yang berbeda. Kepribadian biasanya berfungsi sebagai suartu kesatuan dan bukan sebagai tiga komponen yang terpisah. Katakan id dipikirkan sebagai komponen fisiologis, sedangkan ego sebagai komponen psikologis, dan superego sebagai komponen sosial kepribadian.
Teori Horney                                                                     
Karen Horney (1885-1952) menyadari bahwa ide-idenya jatuh dalam kerangka psikologi Freud, tidak membentuk pen­dekatan yang sama sekali baru terhadap pemahaman kepribadian. Ia bercita-cita menghilangkan pandangan-pandangan yang keliru dalam pemikiran Freud supaya psikoanalisis dapat mewujudkan potensi-potensinya yang penuh sebagai suatu ilmu pengetahuan tentang manusia. la berpendapat bahwa pandangan- pandangan yang keliru itu berakar pada orientasi yang mekanistik dan fisiologis. la menekankan pengalaman­-pengalaman kultural dan interpersonal serta melihat kecemasan dasar sebagai penyebab neurosis.
Horney sangat berkeberatan terhadap konsep Freud tentang iri terhadap penis (penis eny) sebagai faktor yang menentukan dalam psikologi wanita. Seperti telah diketahui, Freud mengamati bahwa sikap-sikap dan perasaan-­perasaan dari wanita dan konflik mereka yang sangat hebat muncul dari pe­rasaan mereka terhadap inferioritas genital dan perasaan iri terhadap laki-laki. Homey berpendapat bahwa psikologi wanita terjadi karena kurang percaya terhadap wanita serta terlalu menekankan hubungan cinta dan terlalu sedikit berbicara tentang organ-organ seks.
Mengenai kompleks Oedipus, Homey berpendapat bahwa itu bukanlah suatu konflik seksual dan agresif yang terjadi antara anak dengan orang tuanya, melainkan kecemasan yang muncul dari gangguan-gangguan dasar, misalnya penolakan, perlindungan yang berlebihan, dan hukuman dalam hubungan anak dengan ibu dan ayahnya. Agresi tidaklah bersifat bawaan sebagaimana dikata­kan Freud, melainkan cara dengan mana manusia berusaha untuk melindungi keamanannya. Narcisisme pada dasarnya bukanlah cinta diri, melainkan inflasi diri dan penilaian yang berlebihan akibat perasaan-perasaan tidak aman. Horney juga mempersoalkan konsep-konsep Freud yang berikut: kompulsi repetisi (repetition compulsion), id, ego, superego, kecemasan, dan masokhisme. Pada segi positif, Homey menyatakan bahwa sumbangan-sumbangan teoretis funda­mental Freud adalah doktrin-doktrinnya tentang determinisme psikis, motivasi tak sadar, serta motif-motif emosional dan tidak rasional.
Kecemasan dasar. Salah satu hal yang sangat penting dalam pendekatan Homey terhadap kepribadian ialah konsepnya mengenai kecemasan dasar, yang digambarkannya sebagai perasaan tidak berdaya dalam dunia yang bersikap bermusuhan. Kecemasan dasar itu disebabkan oleh segala sesuatu yang meng­ganggu keamanan anak dalam hubungan dengan orang tuanya. Perasaan bermu­suhan itu ditimbulkan pada anak oleh sikap orang tua seperti lebih suka pada anak-anak lain, celaan-celaan yang tidak tepat, janji-janji yang tidak dipenuhi, tidak mempertimbangkan perasaan-perasaan anak pada masa kanak-kanak, dan selalu turut campur tangan dalam kegiatan-kegiatan anak. Permusuhan yang dibangkitkan pada anak itu tidak dapat diungkapkan anak karena posisinya sulit dan sama sekali tergantung pada orang tua. la takut bila perbuatannya dapat menyebabkan penolakan yang lebih keras lagi. Kecemasan yang ditim­bulkan oleh posisi yang tidak aman ini ditambah lagi dengan bahaya bahwa ada kemungkinan impuls-impulsnya yang bermusuhan itu tersingkap menye­babkan bertambahnya perasaan bermusuhan. Apabila sikap-sikap orang tua pada masa yang lebih dini tetap tidak bisa dilunakkan oleh pengaruh-pengaruh lain yang lebih baik, maka anak melemparkan perasaan bermusuhan itu ke dunia luar dan mengembangkan kecemasan umum, dan is akan mengalami perasaan kesepian dan tidak berdaya. Menurut Homey, kecemasan dasar ini adalah penyebab neurosis. Homey mengemukakan bahwa kecemasan patologik ini dapat dicegah dengan memberikan anak kehangatan dan kasih sayang yang tulus sehingga is akan mengembangkan perasaan-perasaan bahwa ia diperlukan dan dicintai.
Anak yang merasa tidak aman dan cemas melakukan berbagai siasat untuk menanggulangi perasaan terisolasi dan tak berdaya. la mungkin benci dan ingin membalas dendam terhadap orang-orang yang menolaknya atau berbuat se­wenang-wenang terhadap dirinya. Atau, is mungkin menjadi sangat patuh supaya mendapat kembali cinta yang dirasakannya telah hilang. Ia mungkin mengembangkan gambaran dirinya tidak realistik, yang dicita-citakannya supaya mengadakan kompensasi terhadap perasaan-perasaan rendah dirinya. Anak mungkin menyogok orang lain supaya mencintainya atau mungkin meng­gunakan ancaman-ancaman untuk memaksa supaya orang lain menyukainya. la juga dapat membuat dirinya patut dikasihani supaya mendapat simpati dari orang lain.
Apabila anak tidak memperoleh cinta, maka is bisa berusaha menguagai orang-orang lain. Dengan cara demikian is mengadakan kompensasi terhadap perasaan ketidakberdayaannya, menemukan cara untuk menyalurkan permu­suhan, dan bisa mengeksploitasi orang-orang lain. Atau, anak menjadi sangat kompetitif di mana kemenangan jauh lebih penting daripada prestasi. la bisa mengarahkan agresinya ke dalam dan meremehkan dirinya sendiri. Salah satu di antara strategi-strategi ini mungkin menjadi sifat yang kurang lebih permanen dalam kepribadian. Dengan kata lain, suatu strategi tertentu bisa berperan sebagai suatu dorongan atau kebutuhan dalam dinamika kepribadian.
Kebutuhan-kebutuhan neurotik. Horney menyajikan suatu daftar yang terdiri dari 10 kebutuhan yang diperoleh sebagai akibat dari usaha menemukan pemecahan-pemecahan terhadap masalah hubungan-hubungan manusia yang terganggu. la menyebut kebutuhan-kebutuhan ini "neurotik" karena kebutuhan­kebutuhan tersebut merupakan pemecahan irrasional terhadap masalah itu. Kesepuluh kebutuhan neurotik itu ialah: (1) Kebutuhan neurotik akan kasih sayang dan penerimaan. Ciri dari kebutuhan ini adalah keinginan membabi buta untuk menyenangkan orang-orang lain dan berbuat sesuai dengan harapan­harapan mereka. Orang yang demikian itu mengharapkan pendapat baik dari orang lain dan sangat peka terhadap setiap tanda penolakan atau ketidak­ramahan; (2) Kebutuhan neurotik akan mitra yang bersedia mengurus kehidupan seseorang. Orang yang memiliki kebutuhan ini adalah parasit. la terlalu menghargai cinta dan sangat takut akan diabaikan dan ditinggal sen­dirian; (3) Kebutuhan neurotik untuk membatasi kehidupan dalam batas-batas yang sempit. Orang yang demikian tidak menuntut, puas dengan yang serba sedikit, lebih suka untuk tetap tidak dikenal orang, dan menghargai kerendahan hati melebihi segalanya; (4) Kebutuhan neurotik akan kekuasaan. Kebutuhan ini terwujud dalam keinginan untuk berkuasa demi kekuasaan itu sendiri, dalam sikap yang sama sekali tidak hormat terhadap orang lain, dan dalam sikap memuja membabi buta segala bentuk kekuatan dan melecehkan kelemahan.
Orang yang takut menggunakan kekuasaan secara terang-terangan bisa berusaha menguasai orang lain melalui eksploitasi dan superioritas intelektual. Bentuk lain dari dorongan untuk berkuasa adalah kebutuhan untuk percaya akan kema­hakuatan kemauan. Orang-orang semacam itu berpendapat bahwa mereka dapat mencapai apa saja hanya dengan menggunakan kekuatan kemauan; (5) Kebu­tuhan neurotik untuk mengeksploitasi orang lain; (6) Kebutuhan neurotik akan prestise. Harga diri seseorang ditentukan oleh banyaknya penghargaan yang diterima dari masyarakat; (7) Kebutuhan neurotik akan kekaguman pribadi. Orang-orang yang memiliki kebutuhan ini memiliki gambaran diri yang me­lambung dan ingin dikagumi atas dasar ini, bukan atas dasar siapa sesungguh­nya mereka; (8) Ambisi neurotik akan prestasi pribadi. Orang-orang yang demi­kian ingin menjadi orang yang terbaik dan memaksa diri untuk semakin ber­prestasi sebagai akibat dari perasaan dasar tidak aman mereka; (9) Kebutuhan neurotik untuk berdiri sendiri dan independensi. Karena kecewa dalam usaha­usaha mereka menemukan hubungan-hubungan yang hangat dan memuaskan dengan orang lain, maka orang-orang semacam itu memisahkan diri dari mereka dan tidak mau terikat kepada siapa pun atau apa pun. Mereka menjadi "orang­orang yang menyendiri."; (10) Kebutuhan neurotik akan kesempurnaan dan ketaktercelaan. Karena takut membuat kesalahan-kesalahan dan dikritik, ma­ka orang-orang yang memiliki kebutuhan ini berusaha membuat dirinya tak terkalahkan dan tanpa cela. Mereka terus-menerus mencari kekurangan-keku­rangan dalam diri mereka sehingga kekurangan-kekurangan itu dapat ditutup sebelum ketahuan oleh orang lain.
Kesepuluh kebutuhan ini merupakan sumber yang menyebabkan konflik­konflik batin. Kebutuhan orang neurotik akan cinta, misalnya, tidak akan pernah terpuaskan. Makin banyak yang dicapai oleh orang neurotik,, makin banyak juga yang diiriginkannya. Demikian juga kebutuhan mereka akan independensi tidak dapat dipuaskan sepenuhnya karena bagian lain dari kepribadian mereka ingin dicintai dan dikagumi. Sejak permulaan pencarian kesempurnaan me­rupakan usaha yang sia-sia. Semua kebutuhan yang diterangkan di atas adalah tidak realistik.
Dalam suatu penerbitan yang muncul kemudian (1945), Homey mengkla­sifikasikan kesepuluh kebutuhan ini dalam tiga kelompok: (1) bergerak menuju orang lain (moving toward people), (2) bergerak melawan orang lain (moving against people), (3) bergerak menjauhi orang lain (moving away from people). Anak yang bergerak menuju orang lain menerima ketidakberdayaannya dan mencari hubungan di mana ia selalu mengalah, tergantung, dan dengan demi­kian is mencapai perasaan aman dan memiliki. Anak yang memilih cara ber­gerak melawan orang lain memiliki sikap bermusuhan dengan semua orang yang ada di sekitarnya dan siap melawan untuk mengalahkan orang lain. Anak yang bergerak menjauhi orang lain menggunakan mekanisme pertahanan diri dengan memisahkan dan menjauhkan diri serta mencari kepuasan dalam dunia pribadinya sendiri.
Penyesuaian diri yang normal memerlukan penggunaan yang tepat semua tipe hubungan interpersonal. Orang neurotik yang didesak oleh kecemasan dasarnya menjadi tergantung (dependen) secara berlebihan dan tidak tepat pada salah satu reaksi yang dikemukakan itu. Dalam menggunakan pendekatan yang hanya sepihak saja is tidak mendapat kepuasan-kepuasan interpersonal yang justru dicarinya. Misalnya, sifat yang terlalu penurut menyebabkan orang neurotik tidak akan mendapat kesempatan untuk bersikap tegas secara normal, tetapi sebaliknya kalau is selalu bersikap menentang menyebabkan is tidak dapat memperoleh hubungan-hubungan yang ramah dan hangat.
Faktor-faktor budaya. Dengan menyadari relevansi faktor-faktor budaya dalam menilai tingkah laku, Homey mengamati bahwa reaksi yang kita anggap sebagai neurotik dalam kebudayaan kita dapat dianggap normal dalam kebu­dayaan-kebudayaan lain. Selain itu is mengemukakan bahwa konflik-konflik yang dikembangkan oleh orang neurotik mencerminkan konflik-konflik dalam masyarakat kita. Menurut pandangan Homey, konsep-konsep Freud mengenai id, ego, dan superego tidak begitu penting dibandingkan dengan tuntutan-tun­tutan budaya yang bertentangan dan yang dikenakan pada individu.

Teori Sullivan
Meskipun Harry Stack Sullivan (1892-1949) sebe­lum meninggal tidak menerbitkan tulisan siste­matis yang membeberkan teorinya tentang kepri­badian, namun pengaruh pemikirannya cukup terasa pada psikiatri dewasa ini. Sullivan menyebut psikiatri sebagai "ilmu pengetahuan tentang hu­bungan-hubungan antar pribadi". Inti dari konsepnya tentang perkembangan kepribadian tercakup dalam istilah akulturasi (acculturation). Menurut Sulli­van, kepribadian manusia muncul dari kekuatan-kekuatan personal dan sosial yang mempengaruhi individu sejak lahir, dan struktur kepribadian terakhir adalah hasil interaksi dengan manusia-manusia lain. Dalam hal ini Sullivan lebih dekat dengan Adolph Meyer daripada dengan Freud.
Tujuan-tujuan tingkah laku manusia. Motivasi tingkah laku manusia ditempatkan Sullivan pada (1) usaha-usaha orang untuk memuaskan kebutuhan­kebutuhan dasar fisiologis seperti tidur, makan, dan pemenuhan seks, dan (2) tekanan yang dikenakan oleh kebudayaan pada individu untuk memenuhi ke­butuhan-kebutuhan tersebut dengan cara yang disetujui oleh masyarakat. Motif terakhir ini, yang disebut Sullivan "kebutuhan akan keamanan" tumbuh dari proses akulturasi, atau sosialisasi, yang mulai pada saat kelahiran bagi semua individu. Proses menjadi manusia matang adalah sama dengan akulturasi ini.
Tegangan dan kecemasan. Tercapainya kepuasan menyebabkan berku­rangnya tegangan-tegangan otot, dan usaha selanjutnya untuk mendapat kepuas­an terdorong oleh pengendoran tegangan. Apabila ibu (atau penggantinya) mu­lai menyatakan larangan-larangan atau celaan-celaan terhadap tingkah laku yang memuaskan kebutuhan, maka pola yang sederhana ini terganggu dan penge­kangan-pengekangan serta tegangan-tegangan otot akan terus-menerus ber­kembang. Selain itu, celaan ibu yang tersembunyi (samar-samar) akan meng­ganggu perasaan-perasaan aman pada anak dan menyebabkan perasaan cemas dan dengan demikian tegangan-tegangan otot dianggap sebagai suatu keadaan yang penting. Kecemasan tidak diidentifikasikan dengan tegangan-tegangan otot saja, tetapi juga selalu berhubungan dengan hubungan-hubungan antarpribadi.
Empati. Cara yang sangat penting untuk meneruskan nilai-nilai budaya dan mensosialisasikan anak terdapat dalam hubungan-hubungan empatik antara bayi dan orang-orang yang memeliharanya, terutama ibu. Lama sebelum komu­nikasi verbal terbentuk, empati memberi kemungkinan untuk komunikasi emo­sional yang menyebabkan bayi merasa tegang atau santai yang disebabkan oleh orang-orang yang dekat dengannya. Misalnya, perasaan-perasaan tegang pada ibu yang cemas pada saat menyusui bayi dapat menimbulkan tegangan pada bayi itu dan mengakibatkan masalah-masalah pada waktu menyusui.
Sistem-diri. Kecemasan adalah suatu produk dari hubungan-hubungan antarpribadi, yang berasal dari ibu dan diteruskan kepada bayi dan dalam kehi­dupan selanjutnya oleh ancaman-ancaman terhadap keamanannya. Untuk menghindari atau mengurangi kecemasan yang aktual maupun potensial, orang-orang memakai berbagai macam tindakan protektif dan kontrol pengawas terhadap tingkah lakunya. Orang, misalnya, tahu bahwa is dapat menghindari hukuman dengan memenuhi kemauan orang tuanya. Tindakan-tindakan ke­amanan ini membentuk sistem-diri yang menyetujui bentuk-bentuk tingkah laku tertentu (the good-me sell) dan melarang bentuk-bentuk tingkah laku lain (the bad-me self).
Sistem-diri sebagai penjaga keamanan seseorang cenderung menjadi terpisah dari aspek-aspek lain dalam kepribadian. Sistem-diri tersebut tidak akan membiarkan masuknya informasi yang tidak sesuai dengan organisasinya sekarang dan karena itu tidak dapat mengambil pelajaran dari pengalaman. Karena diri melindungi orang dari kecemasan maka diri sangat dihargai dan dilindungi dari kritik. Manakala sistem-diri menjadi bertambah kompleks dan indepen­den maka is mencegah orang untuk membuat penilaian-penilaian objektif ten­tang tingkah lakunya sendiri dan menyembunyikan kontradiksi-kontradiksi yang jelas antara bagaimana orang itu sebenarnya, dan bagaimana orang itu menurut apa yang dikatakan oleh sistem-dirinya. Umumnya, semakin orang mengalami kecemasan maka semakin mengembung juga sistem-dirinya, dan semakin is terlepas dari aspek-aspek dalam kepribadian. Meskipun sistem-diri melaksa­nakan tujuan yang berguna, yakni mereduksikan kecemasan, namun is meng­hambat kemampuan orang untuk hidup dengan orang-orang lain secara kons­truktif.
Sullivan yakin bahwa sistem-diri merupakan produk dari aspek-aspek irrasional masyarakat. Maksudnya anak kecil dibuat supaya merasa cemas dengan alasan-alasan yang tidak akan ditemukan dalam suatu masyarakat yang lebih rasional. Ia terpaksa menggunakan cara-cara yang tidak wajar dan tidak realistik untuk mengatasi kecemasannya. Meskipun Sullivan mengakui bahwa perkembangan sistem-diri mutlak penting untuk menghindari kecemasan da­lam masyarakat modern, dan mungkin dalam setiap bentuk masyarakat yang dapat dibentuk oleh manusia, namun is juga mengakui bahwa sistem-diri se­bagaimana kita kenal dewasa ini merupakan "ganjalan penghalang utama bagi perubahan-perubahan yang bermanfaat dalam kepribadian". Mungkin dengan bergurau is menulis, "Diri adalah isi dari kesadaran pada setiap saat jika orang benar-benar senang dengan perasaan harga dirinya, prestise yang diperolehnya di antara sesamanya, serta penghargaan dan hormat yang diberikan mereka kepadanya" (Sullivan, 1964).
Teori perkembangankepribadian. Proses akulturasi merupakan kerangka dari konsep Sullivan mengenai perkembangan kepribadian. Sullivan sangat tekun dalam menguraikan secara rinci urutan situasi-situasi antar pribadi yang diperlihatkan orang yang dilewati mulai dari masa bayi sampai dengan masa dewasa dan cara-cara bagaimana situasi-situasi tersebut ikut membentuk kepribadian. Lebih daripada setiap ahli teori kepribadian lainnya, kecuali mung­kin Freud dan Erikson, Sullivan melihat kepribadian dari perspektif tingkat­-tingkat perkembangan tertentu. Sullivan mengemukakan suatu pandangan yang lebih bersifat psikologi-sosial tentang perkembangan kepribadian, suatu pan­dangan di mana pengaruh-pengaruh yang unik dari hubungan-hubungan ma­nusia diberi peran yang semestinya, sedangkan Freud berpendirian bahwa sebagian besar perkembangan merupakan pemekaran insting seks. Meskipun Sullivan tidak menolak faktor-faktor fisiologis sebagai hal-hal yang menentukan perkembangan kepribadian, namun is menempatkan faktor-faktor itu di bawah faktor-faktor sosial yang menentukan perkembangan psikologis. Lagi pula is berpendapat bahwa kadang-kadang pengaruh-pengaruh sosial ini berlawanan dengan kebutuhan-kebutuhan fisiologis seseorang dan membawa pengaruh yang merugikan kepribadiannya. Sullivan tidak segan-segan mengakui pe­ngaruh-pengaruh buruk dari masyarakat. Sesungguhnya, Sullivan - sama se­perti para ahli teori psikologi sosial lainnya - merupakan seorang kritikus jitu dan tajam terhadap masyarakat kontemporer.
Sullivan menguraikan enam tahap perkembangan kepribadian sebelum tahap kematangan yang terakhir dicapai. Keenam tingkat ini lazim di lingkung­an kebudayaan-kebudayaan Eropa Barat dan mungkin berbeda dalam masya­rakat-masyarakat lain. Keenam tahap tersebut adalah (1) masa bayi, (2) masa kanak-kanak, (3) masa juvenile (pueral), (4) masa pra-adolesen, (5) masa ado­lesen awal, (6) masa adolesen akhir.
Masa bayi mulai dari lahir sampai saat belajar berbicara. Ini adalah masa di mana daerah oral merupakan daerah utama dalam interaksi antara bayi dan lingkungannya. Perawatan memberikan interaksi antara bayi dan lingkungan­nya. Perawatan yang diberikan ibu memberikan pengalaman antarpribadi yang pertama kepada bayi. Segi lingkungan yang menonjol pada masa bayi adalah benda yang menyediakan makanan kepada bayi yang lapar, apakah puting susu ibu atau dot dari botol. Bayi mengembangkan berbagai konsepsi tentang puting susu yang tergantung pada jenis yang diterimanya, yakni: (1) puting susu yang baik merupakan tanda pemeliharaan dan tanda bahwa kepuasan akan datang, (2) puting susu yang baik, tetapi tidak memuaskan karena bayi tidak lapar, (3) puting susu yang salah karena tidak mengeluarkan air susu dan tanda penolakan serta tanda supaya mencari puting susu lain, (4) puting susu yang buruk dari ibu yang cemas merupakan tanda untuk menghindari anak.
Ciri khas lain tahap infantil adalah: (1) munculnya dinamisme apati dan pelepasan diri dengan cara mengantuk, (2) peralihan clan cara pengertian prototaksik ke parataksik[1], (3) organisasi personifikasi-personifikasi, seperti ibu yang buruk, cemas, menolak, kecewa, dan ibu yang baik, tenang, menerima dan memberi kepuasan, (4) organisasi pengalaman melalui belajar dan muncul­nya dasar-dasar sistem-diri, (5) diferensiasi tubuh bayi sendiri sehingga bayi belajar memuaskan tegangan-tegangannya terlepas dari ibu, misalnya mengisap ibu jari, dan (6) belajar melakukan gerakan-gerakan terkoordinasi yang melibat­kan tangan dan mata, tangan dan mulut, serta telinga dan suara.
Peralihan dari masa bayi ke masa kanak-kanak dimungkinkan oleh per­kembangan bahasa dan organisasi pengalaman secara sintaksik[2]. Masa kanak­kanak berlangsung sejak anak mulai bisa mengucapkan kata-kata sampai tim­bulnya kebutuhan akan kawan-kawan bermain. Perkembangan bahasa antara lain memungkinkan fusi personifikasi-personifikasi yang berbeda, misalnya ibu yang baik dan ibu yang buruk serta integrasi dari sistem-diri ke dalam suatu struktur yang lebih koheren. Sistem-diri mulai mengembangkan konsepsi tentang jenis kelamin: anak laki-laki cilik mengidentifikasikan dirinya dengan peran laki-laki seperti ditentukan masyarakat, dan gadis cilik dengan peran wanita. Perkembangan kemampuan simbolis memungkinkan anak bermain peran sebagai orang dewasa – Sullivan menyebut permainan-permainan pe­ran ini sebagai dramatisasi-dramatisasi – dan menjadikan anak menaruh per­hatian pada berbagai kegiatan baik lahiriah maupun batiniah yang bertujuan untuk menghalau hukuman dan kecemasan. Sullivan menyebut ini “preokupasi” (preoccupation).
Salah satu peristiwa dramatis dalam masa kanak-kanak adalah “transfor­masi jahat” (malevolent transformation), yakni perasaan bahwa orang hidup di antara musuh-musuh. Kalau perasaan ini cukup kuat, maka anak tidak mung­kin memberikan respons secara positif terhadap cumbuan kasih sayang dari orang lain. Transformasi jahat merusak hubungan-hubungan antarpribadi anak dan menyebabkan anak mengisolasikan diri. Transformasi jahat itu disebab­kan oleh pengalaman-pengalaman yang menyakitkan dan mencemaskan ter­hadap orang lain dan dapat menyebabkan regresi pada masa bayi yang kurang mangancam.
Sublimasi yang disebut Sullivan sebagai “substitusi tanpa disadari ter­hadap pola tingkah laku yang mengalami kecemasan atau bertentangan dengan sistem-diri dengan suatu pola kegiatan yang lebih dapat diterima oleh masya­rakat yang memuaskan bagian-bagian dari sistem motivasi yang menyebabkan kesulitan”, mulai muncul pada masa kanak-kanak. Tegangan yang berlebihan yang tidak dapat disalurkan oleh sublimasi dikeluarkan dalam perbuatan-per­buatan simbolis, misalnya dalam mimpi-mimpi malam hari.
Tahap juvenile berlangsung sepanjang sebagian besar tahun-tahun Sekolah Dasar. Inilah masa untuk belajar menjadi sosial, memperoleh pengalaman-pengalaman tunduk pada tokoh-tokoh autoritas di luar keluarga, bersaing dan bekerja sama, untuk mempelajari arti mengasingkan diri dari pergaulan, penghinaan, dan perasaan kelompok. Anak belajar mengabaikan keadaan­-keadaan luar yang tidak menarik perhatiannya, menjaga tingkah lakunya dengan kontrol-kontrol dari dalam, membentuk stereotipe-stereotipe dalam sikap-sikap, mengembangkan cara-cara sublimasi bare dan lebih efektif, dan membedakan dengan lebih jelas antara khayalan dan kenyataan.
Masa pra-adolesen yang relatif singkat ditandai oleh kebutuhan akan hu­bungan yang akrab dengan kawan sejenis, sahabat yang dapat dipercaya dan dapat bekerja sama dalam melaksanakan tugas-tugas dan memecahkan masalah­-masalah hidup. Inilah masa yang sangat penting karena masa ini menandakan permulaan hubungan-hubungan manusiawi sejati dengan orang lain. Pada masa-masa sebelumnya, ciri dari situasi antar pribadi ialah ketergantungan anak pada orang-orang yang lebih tua. Pada masa pra-adolesen, anak mulai mem­bangun hubungan-hubungan dengan kawan sebayanya di mana terdapat persamaan, kerja sama, tindakan timbal-balik di antara anggota-anggotanya. Tanpa persahabatan yang akrab, maka anak yang pra-adolesen tadi menjadi korban kesepian yang menyedihkan.
Tantangan utama masa adolesen awal adalah mengembangkan pola akti­vitas heteroseksual. Perubahan-perubahan fisiologis pada pubertas dialami re­maja sebagai perasaan-perasaan birahi. Dari perasaan-perasaan ini muncul dinamisme birahi dan mulai tampak dalam kepribadian. Dinamis, birahi pertama-tama menyangkut daerah-daerah genital, tetapi daerah-daerah interaksi lain, seperti mulut dan tangan, juga ikut mengambil bagian dalam tingkah laku seksual. Terdapat pemisahan antara kebutuhan erotik dan kebutuhan akan keintiman. Sasaran dari kebutuhan erotik adalah lawan jenis, sedangkan sasaran dari kebutuhan akan keintiman tetap pada jenis kelamin yang sama. Apabila kedua kebutuhan ini tidak terpisah, maka orang muda itu akan menampilkan orientasi homoseksual dan bukan heteroseksual. Sullivan mengemukakan bahwa banyak konflik masa adolesen muncul dari kebutuhan-kebutuhan akan kepuasan seksual, keamanan, dan keakraban yang saling berlawanan. Masa adolesen awal berlangsung sampai orang menemukan suatu pola perbuatan stabil yang memuaskan dorongan-dorongan genitalnya.
Masa adolesen akhir merupakan suatu inisiasi yang agak panjang ke arah hak, kewajiban, kepuasan, tanggung jawab kehidupan sebagai warga masya­rakat dan warga negara. Kemampuan untuk menjalin hubungan-hubungan antarpribadi lambat laun terbentuk secara matang dan berkembang pula kemam­puan menghayati secara sintaksik yang memungkinkan perluasan horison= horison simbolis. Sistem-diri menjadi stabil, orang belajar melakukan sublimasi yang lebih efektif atas tegangan-tegangan dan melakukan tindakan-tindakan keamanan yang lebih kuat melawan kecemasan.
Manakala individu telah melewati semua langkah ini dan mencapai tingkat terakhir masa dewasa, maka is telah berubah terutama oleh hubungan-hubungan antarpribadi dari suatu organisme binatang menjadi seorang pribadi manusia. la bukanlah binatang yang dilapisi oleh peradaban dan kemanusiaan, melainkan seekor binatang yang telah berubah begitu drastis sehingga is tidak lagi seekor binatang melainkan manusia – atau kalau lebih suka menyebutnya, seekor binatang manusiawi.
Faktor-faktor perkembangan. Meskipun Sullivan dengan tegas menolak setiap doktrin tentang insting yang ketat, namun is mengakui pentingnya hereditas dalam memberikan kapasitas-kapasitas tertentu, terutama kapasitas untuk menerima dan mengolah pengalaman-pengalaman. la juga menerima prinsip bahwa latihan tidak akan efektif sebelum pematangan meletakkan dasar struktural. Jadi, anak tidak dapat belajar berjalan sebelum otot-otot dan struktur­struktur tulangnya mencapai tingkat perkembangan yang akan memberinya tumpuan untuk berjalan tegak. Hereditas dan pematangan memberikan dasar fisiologis untuk perkembangan kepribadian, yakni kapasitas dan predisposisi serta inklinasi, tetapi kebudayaan yang beroperasi rnelalui sistem hubungan­-hubungan antarpribadi memungkinkan tersalurkannya kemampuan-kemam­puan dan perbuatan-perbuatan aktual (transformasi-transformasi energi) lewat mana orang mencapai tujuan, yakni reduksi tegangan dan pemuasan kebutuhan.
Pengaruh edukatif pertama adalah pengaruh kecemasan yang memaksa organisme yang muda itu membedakan antara tegangan yang bertambah dan tegangan yang berkurang serta mengarahkan aktivitasnya untuk mengurangi tegangan. Pengaruh edukatif penting yang kedua adalah kesempatan untuk mencoba dan mengalami yang hebat ialah pengaruh dari percobaan dan keberhasilan. Keberhasilan, seperti telah dikemukakan oleh banyak psikolog, cenderung mengukuhkan aktivitas yang telah menimbulkan kepuasan. Keberha­silan dapat disamakan dengan mendapatkan hadiah-hadiah – senyuman ibu atau pujian ayah, sedangkan kegagalan dapat disamakan dengan hukuman­hukuman – pandangan ibu yang menandakan larangan, atau kata-kata celaan dari ayah. Orang dapat juga belajar dengan meniru dan melakukan inferensi, Sullivan memberi nama sebagaimana pernah diusulkan oleh Charles Spearman: edukasi tentang relasi-relasi.
Sullivan tidak yakin bahwa kepribadian terbentuk pada usia dini. Kepri­badian dapat berubah pada setiap saat bila timbul situasi-situasi antar pribadi baru karena organisme manusia sangat plastis dan luwes. Meskipun dorongan ke depan untuk belajar dan berkembang lebih kuat, namun regresi-regresi dapat dan Bering terjadi bila rasa sakit, kecemasan, dan kegagalan menjadi tak ter­tanggungkan.
Komentar tentang Pendekatan Psikodinamik
Ada banyak kontroversi mengenai penjelasan-penjelasan psikodinamik ter­hadap tingkah laku abnormal. Kontroversi itu pertama-tama berkisar pada apa­kah ada bukti yang cukup untuk mendukung penjelasan-penjelasan ini. Ke­banyakan dukungan berasal dari pengalaman sehari-hari para psikolog dan psikiater dengan pasien-pasien dan hanya sedikit saja yang berasal dari penelitian ilmiah. Para psikoterapis yang menggunakan penjelasan-penjelasan Freud tetap melaporkan bahwa penjelasan-penjelasan itu berguna untuk memahami pasien-pasien dan pasien-pasien itu mengatakan kepada psikoterapis tentang pengalaman-pengalaman yang cocok dengan penjelasan-penjelasan itu. Para kritikus mengemukakan bahwa para terapis memberikan perhatian yang berat sebelah terhadap apa yang dilihat dan apa yang dilaporkan serta para pasien melaporkan pengalaman-pengalaman yang cocok dengan penjelasan-penjelas­an itu karena para terapis secara tidak sengaja mengarahkan pasien-pasien untuk membuat pernyataan-pernyataan itu. Di samping itu, para terapis mung­kin juga lalai dalam memisahkan informasi yang dilaporkan oleh para pasien dengan penafsiran dari terapis sendiri.
Kritik lain adalah pandangan-pandangan Freud berdasarkan studi-studi kasus tentang orang-orang yang mengalami kesulitan di zaman Victoria. Orang-orang yang mencari terapi mungkin tidak mewakili keadaan para penduduk pada umumnya dan mereka yang membutuhkan terapi mungkin mengalami masalah-masalah yang lebih banyak dibandingkan dengan sebagian besar penduduk. Freud melakukan karyanya di era di mana seksualitas secara kultural direpresikan dan menyimpulkan bahwa semua orang mengalami konflik-konflik seksual yang sama. Pandangannya tentang masa kanak-kanak hanya bertolak dari ingatan-ingatan para pasien dan bukan dari pengaman langsung. Sebagian terbesar dari para pasiennya berasal dari wanita-wanita kelas menengah ke atas yang berusia antara 20 dan 44 tahun (Fisher & Greenberg, 1977). Dengan kata lain, Freud menggunakan sampel yang sangat terbatas untuk membuat generalisasi mengenai spesies manusia.

Hal yang lebih berat adalah tidak ada penelitian ilmiah yang mendukung penjelasan-penjelasan psikodinamik. Untuk melakukan penelitian memang sulit karena penjelasan-penjelasan itu tidak memberi kemungkinan untuk diuji secara ilmiah. Dalam banyak hal, penjelasan-penjelasan itu hanya dapat digunakan untuk memprediksikan (atau menjelaskan sesudah fakta) setiap hasil yang akan muncul. Misalnya, bila seorang pasien berbicara mengenai masalah-masalah Oedipal, maka hal itu membuktikan adanya masalah-masalah Oedipal karena diasumsikan bahwa masalah-masalah tersebut begitu mengancam sehingga pasien mengekspresikannya. Demikian juga diprediksikan bahwa seorang pasien akan marah, tetapi malah sebaliknya dia penuh kasih, dan hal ini dije­laskan dengan mengemukakan bahwa pasien mengubah perasaan-perasaannya melalui proses pemindahan (displacement) dorongan. Para kritikus mengemukakan bahwa karena penjelasan psikodinamik dapat digunakan untuk mem­prediksikan apa saja, maka sesungguhnya penjelasan itu sama sekali tidak memprediksikan apa-apa dan dengan demikian penjelasan psikodinamik tidak dapat diuji.
Fakta bahwa penjelasan psikodinamik tidak dapat diuji tidak berarti bahwa penjelasan psikodinamik salah. Tetapi para kritikus mengemukakan bahwa bila tidak dapat diuji sedangkan penjelasan-penjelasan lain dapat diuji dan mendapat dukungan ilmiah, maka Iebih baik penjelasan psikodinamik dibuang.
Banyak pendukung penjelasan psikodinamik berpendapat bahwa penjelasan psikodinamik tidak mungkin diuji dengan metode-metode ilmiah tradisio­nal karena masalah-masalah dari setiap individu adalah sangat halus dan unik. Mereka mengemukakan bahwa kebanyakan penelitian ilmiah berbelit-belit dan tidak relevan serta nilai dan validitas dari penjelasan psikodinamik tentang tingkah laku abnormal hanya dapat dibuktikan dalam praktek klinis.
Kontroversi antara pendukung dan kritikus penjelasan psikodinamik telah berlangsung bertahun-tahun dan dewasa ini kita belum mendekati penyelesaiannya. Daripada terus-menerus berdebat, para pendukung dan kritikus kelihatannya hares sependapat untuk tidak sependapat, mengikuti cara mereka masing-masing, dan terus mengembangkan penjelasan-penjelasan mereka masing-masing. Ini mungkin cara yang sangat konstruktif dan efektif dalam memecahkan kontroversi itu karena ilmu pengetahuan berkembang dengan membuang atau meninggalkan satu teori untuk suatu teori yang lebih baik, bukan dengan cara menyanggah satu teori yang kurang baik.

PENDEKATAN BEHAVIORAL

Bagi John B. Watson, perkembangan merupakan sesuatu yang mekanik. Kepribadian – yang dimaksudkan oleh Watson adalah seluruh sistem tingkah laku yang kelihatan – dibangun dari proses pengondisian. Meskipun banyak ahli teori belajar modem tidak setegas Watson terhadap proses yang sederhana mengenai perolehan dan perubahan tingkah laku, namun pendekatan behavio­ristik tetap mempunyai pengaruh yang sangat kuat.
Baik pendekatan psikoanalitik maupun pendekatan behavioral adalah deterministik, tetapi masing-masing pendekatan ini menemukan sumber tingkah laku dalam tempat yang berbeda. Determinisme berarti setiap kejadian atau tindakan disebabkan oleh apa yang terjadi sebelumnya dan bukan oleh keputus­an individu]. Para psikolog yang menggunakan pendekatan behavioral memu­satkan perhatian pada belajar. Mereka melihat tingkah laku sebagai produk dari hubungan stimulus-respons (S – R) dan bukan produk dari kejadian-kejadi­an intrapsikis. Mereka tidak menyelidiki atau menggali masa lampau individu atau menyuruhnya untuk menjelaskan apa sebabnya is menjadi demikian.
Dalam bagian ini akan disinggung dua pandangan, yakni pandangan behaviorisme klasik dan pandangan belajar-sosial yang menerima unsur-unsur pokok dari behaviorisme klasik, tetapi ditambah dengan variabel-variabel yang ter­dapat dalam individu. Behaviorisme klasik terdiri dari pengondisian klasik dan pengondisian operan, yang kedua-duanya menekankan bahwa tingkah laku abnormal itu terjadi karena dipelajari dan untuk mengubah tingkah laku orang hares mengubah aspek-aspek yang relevan dari lingkungan, terutama sumber­sumber perkuatan (reinforcement). Karena kedua pengondisian ini memiliki perah-peran yang berbeda dalam pengembangan tingkah laku abnormal, maka akan dibicarakan proses-proses dan implikasi-implikasi dari masing-masing pengondisian tersebut.

Pengondisian Klasik
Pengondisian klasik secara kebetulan ditemukan oleh Ivan Pavlov, psikolog Rusia, yang membuat penelitian dengan menyelidiki air liur dari anjing-anjing. Untuk mengumpulkan air liur untuk keperluan analisis, pembantu Pavlov membunyikan bel untuk mendapat perhatian dari anjing itu. Pavlov segera meniupkan bubuk daging ke mulut anjing itu yang menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur, dan air liur itu ditampung pada tabung yang dipasang pada mulut anjing tersebut. Pada suatu hari, pembantu Pavlov secara kebetulan membunyikan bel sebelum Pavlov siap meniup tepung daging ke mulut anjing itu. Pavlov sangat kaget karena anjing itu mengeluarkan air liur. Karena bel dan tepung daging sering berpasangan dalam percobaan sebelum­nya, maka bel sendirian mampu mendatangkan respons yang sebelumnya hanya dapat didatangkan oleh tepung daging.
Pada umumnya, pengondisian klasik terjadi bila suatu stimulus yang mendatangkan respons tertentu selalu berpasangan dengan suatu stimulus netral yang tidak mendatangkan respons. Misalnya, makanan yang mendatangkan air liur berpasangan dengan bunyi bel. Setelah kedua stimulus yang berpasangan itu diberi berulang-ulang, maka stimulus itu sendiri yang sebe­lumnya netral mendatangkan  respons. Misalnya, bunyi bel            mengakibatkan keluarnya air liur anjing. Stimulus yang pada mulanya mendatangkan respons (makanan) disebut “stimulus tak terkondisi” (unconditioned stimulus) dan stimulus netral yang memuat kemampuan untuk mendatangkan respon (bunyi bel) disebut “stimulus terkondisi” (conditioned stimulus).
Mungkin contoh yang terkenal dari pengondisian klasik pada manusia adalah kasus Albert cilik,” yang dikondisikan oleh Watson dalam usaha untuk memperlihatkan bahwa ketakutan itu adalah hasil belajar dan bukan bawaan. Pertama-tama Watson memberikan seekor tikus putih kepada Albert cilik, yang tidak memperlihatkan rasa takut terhadap tikus itu dan senang bermain-main dengannya. Ketika Watson kemudian memberikan tikus itu kepada Albert, maka is membunyikan gong dengan suara yang sangat keras yang menakutkan anak itu. Prosedur yang sama tikus berpasangan dengan gong diulang berkali-kali, sampai kemudian hanya tikus saja yang diberikan. Tetapi Albert segera menj adi takut. Dengan cara ini, Watson telah mengondisikan Albert untuk menjadi takut terhadap stimulus yang sebelumnya tidak menim­bulkan rasa takut.
Pengondisian klasik cocok untuk memahami tingkah laku abnormal karena pengondisian klasik memberikan dasar bagi banyak respons emosional dan fisiologis, seperti ketakutan Albert dalam percobaan tersebut di atas. Ketakutan Albert terhadap tikus jelas dilihat sebagai hal yang abnormal. Albert menderita fobia (suatu ketakutan yang tidak rasional).

Generalisasi Respons-Respons
Melalui prosedur yang disebut generalisasi respons yang terkondisi secara klasik mungkin pada akhirnya dimunculkan tidak hanya oleh respons terkondisi, tetapi juga oleh stimulus-stimulus barn yang mirip dengan stimulus terkon­disi. Misalnya, Albert menjadi takut bila kepadanya diperlihatkan seekor ke­linci, seekor anjing, atau malahan bola kapas dan mantel yang berbulu. Sejauh mana generalisasi itu terjadi tergantung pada kemiripan antara stimulus ter­kondisi dan suatu stimulus yang barn. Semakin besar kemiripan antara stimulus terkondisi (seekor tikus putih) dan stimulus yang barn (sebuah bola kapas), maka semakin besar juga kemungkinan stimulus yang barn itu akan menda­tangkan respons terkondisi. Stimulus-stimulus yang sama sekali tidak mirip tidak akan mendatangkan respons terkondisi. Misalnya, Albert tidak memper­lihatkan ketakutan yang hebat terhadap seperangkat balok kayu.
Generalisasi benar-benar meningkatkan jumlah stimulus yang dapat men­datangkan respons tertentu yang terkondisi dan juga dapat menyulitkan kita untuk memahami respons-respons seseorang. Ketakutan Albert terhadap wa­nita-wanita yang mengenakan mantel yang berbulu memperluas masalah asli­nya dengan tikus-tikus, dan apabila kita tidak mengetahui sejarahnya tentang pengondisian dan proses generalisasi, maka responsnya terhadap wanita-wanita yang memakai mantel berbulu benar-benar sangat membingungkan.
Penghapusan dan Daya Tahan Respons-Respons
Respons-respons yang terkondisi secara klasik dapat dihilangkan dengan suatu proses yang disebut penghapusan (extinction), di mana stimulus terkondisi berulang-ulang diberikan tanpa berpasangan dengan stimulus tak terkondisi. Misalnya, bila anjing dari Pavlov terus-menerus mendengar bunyi bel dan tidak mendapat bubuk daging, maka anj ing-anj ing tersebut tidak mengeluarkan air liur dalam memberikan respons terhadap bunyi bel itu.
Tetapi perlu diperhatikan bahwa begitu suatu respons terkondisi terbentuk, maka ia akan bertahan lama sampai prosedur-prosedur penghapusan dilakukan. Respons-respons terkondisi yang tetap bertahan digambarkan dengan jelas dalam suatu percobaan dengan domba. Dalam percobaan tersebut, cahaya yang berwarna merah diberi berpasangan dengan kejutan (shock) pada kaki domba sehingga domba itu terkondisikan secara klasik untuk mengangkat kaki depan­nya bila melihat cahaya merah. Setelah pengondisian itu berakhir, domba itu dikembalikan ke padang rumput. Sembilan tahun kemudian domba tersebut di bawa kembali ke laboratorium dan diberikan cahaya merah dan segera domba itu mengangkat kaki depannya.
Daya tahan dari respons yang terkondisi secara klasik adalah penting untuk memahami gangguan mental karena respons-respons yang tidak tepat dapat ditelusuri sampai kepada hal-hal yang terjadi jauh sebelumnya (hal-hal yang terjadi lebih awal) karena pengondisian klasik.

Sifat Tak Sengaja dari Respons-Respons
Hal yang penting adalah respons-respons yang terkondisi secara klasik itu tidak bisa dikendalikan. Begitu pengondisian tercapai, maka respons terjadi kapan saja stimulus diberikan dan subjek tidak dapat menghentikan respons tersebut. Anjing dalam percobaan Pavlov tidak mempunyai pilihan lain selain hanya mengeluarkan air liur bila bel berbunyi dan Albert tidak bisa tidak takut bila is melihat tikus. Respons-respons terkondisi secara klasik yang tidak bisa dikendalikan itu bisa menghasilkan perasaan abnormal dalam kehidupan se­lanjutnya. Misalnya, apabila dalam kehidupan kemudian Albert berpacaran dengan seorang wanita yang mengenakan mantel berbulu dan bila itu dilihat Albert, maka is menjadi sangat takut meskipun is menyadari bahwa is tidak rasional dan is berusaha keras supaya tidak takut. Jelas, pengondisian klasik dapat menimbulkan tingkah laku abnormal yang berat, bertahan lama, membingungkan, dan tidak bisa dikendalikan dalam bermacam-macam cara.

Pengondisian yang Bertaraf Lebih Tinggi (Higher-Order Conditioning)
Pengondisian yang bertaraf lebih tinggi (higher-order conditioning) terjadi bila suatu stimulus terkondisi yang mendatangkan suatu repons terkondisi se­cara klasik berpasangan dengan suatu stimulus netral sehingga dalam masa yang akan datang stimulus yang sebelumnya netral juga mendatangkan respons. Dalam kasus Albert, bila tikus putih berpasangan dengan boneka yang menge­nakan kain tambalan, maka boneka itu juga mendatangkan ketakutan. Dengan pengondisian yang bertaraf lebih tinggi, respons-respons (ketakutan-ketakutan) terkondisi secara klasik dapat diteruskan kepada stimulus-stimulus baru dan ini berarti cara-cara bagaimana kita mengembangkan respons-respons abnormal.

Pengondisian Operan
Pengondisian operan terjadi bila suatu respons diikuti oleh suatu hadiah, dengan demikian pada masa yang akan datang kemungkinan lebih besar seorang individu menggunakan respons tersebut untuk memperoleh hadiah. Dengan demi­kian tidak seperti pengondisian klasik, pengondisian operan tidak menggunakan dua stimulus yang berpasangan melainkan pasangan respons dan hadiah.
Suatu contoh terkenal dari pengondisian operan adalah percobaan Skinner dengan tikus-tikus putih. Dalam suatu percobaan yang sangat sederhana, tikus­tikus itu ditempatkan dalam suatu kurungan dengan suatu pengungkit yang kalau ditekan maka makanan akan jatuh ke wadah makanan. Tikus-tikus itu lapar dan dengan cepat mempelajari respons menekan pengungkit itu untuk memperoleh hadiah makanan. Dalam percobaan-percobaan lainnya, tikus-tikus ditempatkan dalam suatu kurungan dengan suatu pengungkit yang dapat me­matikan kejutan (shock) yang datang dari jaringan listrik yang dipasang pada lantai kurungan itu. Tikus-tikus dalam percobaan ini belajar menekan peng­ungkit itu untuk mematikan kejutan dan mengurangi rasa sakit. Dalam suatu variasi pada percobaan-percobaan ini, suatu cahaya merah muncul dalam be­berapa detik sebelum kejutan dan tikus-tikus itu belajar dengan cepat bahwa apabila mereka menekan pengungkit pada waktu cahaya merah itu muncul, maka mereka dapat menghindari kejutan. Dalam semua percobaan ini, tikus­tikus mempelajari respons menekan pengungkit karena hal itu menghasilkan hadiah atau karena sesuatu yang negatif dapat dilenyapkan atau dihindari.
Meskipun kita berpikir bahwa diri kita lebih daripada tikus-tikus yang menekan pengungkit itu, namun kebanyakan tingkah laku kita sehari-hari dapat dipahami berdasarkan usaha-usaha untuk memperoleh hadiah-hadiah atau menghindari hukuman-hukuman. Misalnya, Anda mungkin membaca buku ini dengan tujuan untuk memperoleh hadiah karena mempelajari sesuatu yang bare, memperoleh hadiah karena mendapat nilai yang baik, atau menghindari hukuman karena mendapat nilai yang jelek. Dalam setiap hal ini, tingkah laku Anda ditentukan oleh kemungkinan-kemungkinan memperoleh hadiah karena membaca buku.
Pengondisian operan sangat relevan dalam memahami gangguan mental (tingkah laku abnormal) karena kita sering melakukan tingkah laku-tingkah laku yang tidak tepat untuk memperoleh hadiah-hadiah atau menghindari hukuman-hukuman. Seorang anak bisa bertingkah laku marah untuk mendapat perhatian, Anda bisa menarik diri ke dalam dunia fantasi Anda karena lebih menyenangkan daripada dunia yang real, atau seorang individu yang menderita claustrofobia mungkin menghindari ruang-ruang yang kecil supaya bebas dari kecemasan yang disebabkan karena berada dalam suatu tempat yang terbatas.

Perbedaan-Perbedaan Individual dalam Hadiah-Hadiah dan Hukuman-­Hukuman
Ada perbedaan-perbedaan individual yang besar berkenaan dengan apa yang menghadiahi dan apa yang menghukum. Pada umumnya, hadiah-hadiah adalah hal-hal yang akan kita usahakan untuk diperoleh, sedangkan hukuman-hukuman adalah hal-hal yang akan kita usahakan untuk dikurangi atau dihindari. Karena individu-individu sangat berbeda dalam apa yang mereka rasakan sebagai ha­diah atau hukuman, maka penting bagi kita untuk menganalisis tingkah laku berdasarkan apa yang dipikirkan oleh individu itu sebagai hadiah atau hukuman dan bukan berdasarkan apa yang kita pikirkan sebagai hadiah atau hukuman. Misalnya, beberapa individu merasa nyeri, sakit, berkeringat dan letih dianggap sebagai hadiah dari latihan yang berat, sedangkan orang-orang lain mengang­gapnya sebagai hukuman. Apabila orang-orang menganggap itu sebagai hukuman dan tidak memperhatikan pandangan orang-orang lain, maka mere­ka akan menemukan kesulitan untuk memahami apa sebabnya orang-orang lain melakukan latihan.

Penghapusan Respons-Respons
Apabila suatu respons operan tidak lagi menghasilkan hadiah, maka respons tersebut tidak lagi bernilai untuk Anda dan Anda tidak akan menggunakannya lagi. Proses ini disebut penghapusan (extinction). Penghapusan respons-respons yang tepat dapat menimbulkan perkembangan tingkah laku abnormal. Misalnya, apabila Anda terus-menerus diabaikan (tidak dihadiahi), maka Anda bisa ber­balik dari orang lain yang mendekati Anda dan kemudian menarik diri ke dalam suatu dunia fantasi yang memberikan hadiah. Penghapusan dapat juga digu­nakan untuk menghilangkan tingkah laku abnormal. Misalnya, dengan meng­abaikan anak yang bertingkah laku marah, maka kita menolak menghadiahi kemarahan itu, dan kemarahan itu pada akhirnya akan dibuang (dihapus).

Jadwal-Jadwal Hadiah
Apabila Anda mempelajari suatu respons, maka adalah penting bahwa Anda memperoleh hadiah pada setiap saat Anda memberikan suatu respons yang tepat. Tetapi segera setelah Anda mempelajari respons, maka respons tersebut sulit dihapus apabila Anda diberikan hadiah-hadiah hanya dengan sebentar­sebentar. Pengaruh dari dari suatu jadwal hadiah yang tidak teratur atau tidak tetap (intermittent schedule of reward) terhadap respons-respons terkondisi secara operan kelihatan dengan jelas pada perjudian yang menggunakan mesin judi. Apabila mesin judi membayar 100% pada waktu is berhenti membayar, maka si penjudi akan mengetahui bahwa sesuatu telah berubah dan ia berhenti menggunakan mesin itu. Tetapi bila mesin itu membayar secara tidak teratur, maka si penjudi akan tetap bermain dengan harapan bahwa respons berikutnya akan menghasilkan hadiah.
Memahami akibat-akibat dari jadwal jadwal hadiah yang terjadi sebentar­sebentar akan membantu kita memahami tingkah laku-tingkah laku tertentu meskipun tingkah laku-tingkah laku itu jarang dihadiahi. Hal itu menunjukkan juga bahwa tetap tidak memberikan hadiah-hadiah adalah penting bila tujuan kita adalah untuk menghapus suatu tingkah laku tertentu. Misalnya, orang tua kadang-kadang menyerah kepada kemarahan anaknya, maka orang tua itu sesungguhnya akan memperkuat respons dengan jadwal hadiah-hadiah yang tidak teratur dan bukan membantu untuk menghapusnya.

Respons-Respons Dapat Dikendalikan
Tidak seperti respons-respons terkondisi secara klasik, respons-respons terkon­disi secara operan tetap dapat dikendalikan. Tikus-tikus dalam percobaan Skin­ner dapat memutuskan apakah menekan pengungkit atau tidak untuk mem­peroleh makanan, Anda dapat memutuskan tidak membaca buku ini dalam mempersiapkan ujian, anak dapat dengan sengaja tidak marah lagi, penjudi dapat memutuskan untuk tidak memasukkan uang lagi ke dalam mesin judi. Meskipun demikian, walaupun respons-respons operan dilakukan dengan se­ngaja, dapat juga terjadi motivasi untuk melakukan respons-respons operan tertentu mungkin mencapai suatu tingkat yang tinggi sehingga tidak bisa diken­dalikan secara efektif. Tikus yang lapar mungkin tidak mempunyai pilihan lain lagi selain menekan pengungkit untuk mendapat makanan, dan siswa dengan ketakutan yang terkondisi secara klasik terhadap tempat-tempat yang kecil mungkin tidak mempunyai pilihan lain selain hanya melarikan diri dengan penuh ketakutan bila guru menutup pintu ruang kelas yang kecil.
Kombinasi Pengondisian Klasik dan Pengondisian Operan
Perlu diperhatikan bahwa pengondisian klasik dan pengondisian operan dapat bergabung sehingga bersama-sama menghasilkan tingkah laku abnormal. Pengondisian klasik dapat menjadi dasar bagi ketakutan-ketakutan yang tidak tepat, sedangkan pengondisian operan dapat menjadi dasar bagi tingkah laku tingkah laku yang digunakan untuk mereduksikan ketakutan-ketakutan. Pengondisian klasik menyebabkan Albert takut dan dengan pengondisian operan is da­pat menghindari wanita-wanita yang mengenakan mantel-mantel yang berbulu.
Pengondisian operan dapat juga menyebabkan tingkah laku abnormal dengan memperlambat penghapusan respons-respons abnormal yang terkondisi secara klasik: Apabila dengan pengondisian operan Anda belajar menghindari suatu stimulus terkondisi, maka Anda tidak akan belajar bahwa stimulus itu tidak lagi berhubungan dengan stimulus terkondisi dan dengan demikian peng­hapusan tidak akan terjadi. Misalnya, apabila Albert menghindari tikus-tikus, maka is tidak akan belajar bahwa tikus-tikus itu tidak lagi berpasangan dengan gong yang menakutkan. Demikian juga, individu-individu yang menghindari tempat-tempat yang tinggi karena mereka pernah ketakutan dalam suatu tempat yang tinggi tidak belajar bahwa tempat-tempat yang tinggi itu tidak perlu menakutkan, dan akibatnya ketakutan mereka tidak hilang. Penggunaan tingkah Iaku-tingkah laku operan untuk menghindari stimulus-stimulus yang ditakuti membantu kita untuk memahami apa sebabnya beberapa ketakutan terkondisi secara klasik begitu gigih dan tetap bertahan.
Karya pengondisian klasik dari Pavlov dan Watson dan pengondisian operan dari Thorndike dan Skinner bersama-sama menjadi dasar dari apa yang sekarang disebut “pendekatan belajar” (atau pengondisian) terhadap tingkah laku abnormal karena ajaran dasar dari segi pandangan belajar adalah gangguan mental (tingkah laku abnormal) adalah basil dari belajar.



Teori Belajar-Sosial (Social-Learning Theory)
Teori belajar-sosial adalah sumbangan dari para ahli teori belajar, seperti Albert Bandura, Julian B. Rotter, dan Walter Mischel. Para ahli teori belajar ­sosial menekankan peran dari aktivitas kognitif dan belajar dengan cara mengamati tingkah laku manusia. Para ahli teori belajar-sosial melihat manusia sebagai orang yang berpengaruh terhadap lingkungannya sama seperti ling­kungan berpengaruh terhadap dirinya. Para ahli teori belajar-sosial sependapat dengan para behavioris yang lebih tradisional yang mengemukakan bahwa tingkah laku manusia hares dikaitkan dengan respons-respons yang dapat diamati. Tetapi, mereka mengemukakan juga bahwa faktor-faktor di dalam orang itu sendiri – variabel-variabel orang – harus dipertimbangkan dalam menjelaskan tingkah laku manusia.
Para ahli belajar-sosial melihat indi­vidu sebagai orang yang belajar dengan tujuan tertentu dan menyadari dirinya sen­diri sebagai orang yang mencari informasi tentang lingkungannya, tidak hanya meng­adakan respons secara otomatis terhadap stimulus-stimulus yang menimpa dirinya. Rotter (1972) mengemukakan bahwa ting­kah laku tidak dapat diprediksikan dari faktor-faktor situasional saja. Apakah orang bertingkah laku dalam cara-cara tertentu atau tidak, juga tergantung pada harapan­-harapannya tentang hasil-hasil dari tingkah lakunya dan nilai-nilai subjektif dari hasil­-hasil itu.

Belajar dengan Cara Mengamati (Obser­vational Learning)
Dalam setiap contoh tentang pengondisian klasik dan pengondisian operan yang telah diberikan, orang yang belajar terlibat secara langsung dalam proses pengondisian. Albert dihadapkan pada tikus dan gong, dan anak belajar dengan uji coba bahwa kalau marah bisa mendapat hadiah. Tetapi, keterlibatan secara langsung itu tidak selalu dibutuhkan supaya pengondisian itu terjadi. Anak lain yang hanya memperhatikan bila tikus dan gong diberikan kepada Albert dapat mengembangkan ketakutan terkondisi yang terwakilkan terhadap tikus, dan seorang anak yang memperhatikan anak lain mendapat perhatian (hadiah) terhadap kemarahan dapat belajar menggunakan kemarahan untuk mendapat perhatian (hadiah). Tipe pengondisian yang tidak langsung ini biasanya disebut “belajar dengan cara mengamati” (observational learning) atau belajar melalui “percontohan” (modeling). Belajar dengan cara mengamati ini disebut juga “pengondisian yang diwakilkan” (vicarious con­ditioning). Dengan demikian, belajar melalui pengamatan terjadi meskipun pengamat tidak melakukan tingkah laku itu atau tidak diperkuat secara lang­sung. Belajar melalui pengamatan dapat terjadi pada waktu mengamati secara langsung tingkah laku orang lain atau dengan mengamati model-model dalam film-film atau televisi atau juga dengan membaca mengenai orang lain.

Variabel-Variabel Orang
Para ahli teori belajar-sosial berpendapat bahwa tingkah laku disebabkan oleh interaksi yang terus-menerus berubah antara orang dan variabel-variabel situasi. Variabel-variabel situasi adalah faktor-faktor tingkah laku eksternal, seperti hadiah dan hukuman. Variabel-variabel orang adalah karakteristik-karakteristik dari orang itu, seperti kecakapan (competence), mengkodekan strategi-strategi (encoding strategies), harapan-harapan, nilai-nilai subjektif, sistem-sistem, dan rencana mengatur din sendiri. Kita telah membicarakan variabel-variabel situa­si dalam belajar menurut teori pengondisian klasik dan pengondisian operan. Sekarang akan dikemukakan variabel-variabel orang seperti telah disinggung di atas.
Kecakapan (competency). Kecakapan adalah keterampilan-keterampilan dan pengetahuan yang telah diperoleh dari belajar pada masa lampau. Ini me­liputi keterampilan-keterampilan akademis, seperti membaca, menulis, dan menghitung; keterampilan atletik, seperti memukul bola tenis atau menendang bola kaki dengan tepat; keterampilan-keterampilan sosial, seperti mengetahui apa yang dikatakan atau bagaimana berpakaian dalam suatu wawancara pe­kerjaan atau bagaimana meminta sesorang untuk bergi berpacaran. Kapasitas individu menggunakan informasi untuk merencanakan tingkah laku tergantung pada kecakapan individu itu sendiri.
Mengkodekan strategi-strategi (encoding strategies). Mengkodekan
(encoding) mengacu pada proses melambangkan stimulus-stimulus. Orang­
orang dapat mengkodekan stimulus-stimulus yang sama dalam cara-cara yang
berbeda. Ada orang yang mengkodekan permainan tenis sebagai kesempatan
untuk relaks dan bersenang-senang. Orang-orang lain mengkodekan permainan
tersebut untuk membuktikan kemampuan mereka bermain tenis. Beberapa
orang mengkodekan kencan yang tidak berhasil sebagai tanda kecerobohan
mereka sendiri sedangkan orang-orang lain mengkodekan kencan yang gagal
itu sebagai bukti bahwa orang-orang terkadang tidak mencintai satu sama lain.
Strategi-strategi pengkodean mungkin membantu mejelaskan mengapa bebe­
rapa orang mengalami depresi dan menarik diri sesudah menagalami kekece­
waan, sedangkan orang lain tidak menghiraukannya dan tetap tidak gelisah.

Harapan-harapan. Harapan-harapan adalah prediksi-prediksi pribadi
mengenai hasil-hasil (atau potensi untuk perkuatan) dalam melakukan respons­
respons tertentu. Harapan-harapan itu dapat digambarkan dengan pernyataan
‘ jika – maka”: Jika saya melakukan A, maka saya akan mendapat B. Bandura (1982) membedakan dua macam harapan, yakni harapan-harapan akan keber­hasilan (outcome expectations) dan harapan-harapan akan kemampuan (efficacy expectations). Harapan-harapan akan keberhasilan adalah antisipasi-antisipasi bahwa pola-pola tingkah laku tertentu akan memperoleh akibat-akibat tertentu. Misalnya, Anda mungkin mengharapkan bahwa dengan mempelajari secara tekun bahan kuliah yang diuraikan dalam buku, maka kemungkinan lebih besar Anda akan mengerjakan ujian dengan balk (harapan-harapan akan keberhasilan mungkin terbukti benar atau mungkin juga tidak). Sebaliknya, harapan-harapan akan kemampuan diri (self-efficacy expectations) adalah keyakinan-keyakinan bahwa orang akan berhasil melakukan tingkah laku itu. Misalnya, bila Anda memusatkan pikiran Anda dalam membaca suatu buku, maka Anda yakin bahwa Anda memperoleh informasi dan ini merupakan contoh harapan akan kemam­puan diri yang tinggi. Atau sebaliknya, Anda yakin bahwa Anda tidak dapat mempelajari bahan yang diuraikan dalam buku itu meskipun Anda benar-benar berusaha mempelajarinya, ini merupakan contoh kepercayaan akan kemampuan diri yang rendah. Harapan-harapan akan kemampuan diri sendiri sebagian di­dasarkan pada kecakapan-kecakapan individu dan pengalaman-pengalamannya sendiri dalam situasi-situasi yang sama. Kecakapan mempengaruhi harapan, dan sebaliknya harapan mempengaruhi motivasi untuk melakukan. Orang-orang yang berpikir bahwa mereka mampu, mungkin sekali berusaha melakukan tugas-tugas yang sulit daripada orang-orang yang ragu-ragu apakah mereka dapat melakukannya.

Nilai-nilai subjektif. Peristiwa-peristiwa atau stimulus-stimulus yang sama akan dinilai secara berbeda oleh orang-orang yang berbeda. Apa yang menakutkan bagi seseorang mungkin memikat bagi orang lain. Apa yang me­narik perhatian bagi seseorang mungkin menjijikkan bagi orang lain. Para ahli teori belajar-sosial berbeda dengan para behavioris tradisional karena mereka tidak melihat individu sebagai yang dikontrol oleh peristiwa-peristiwa atau stimulus-stimulus eksternal, melainkan individu itu sendiri mengilhami peris­tiwa-peristiwa atau stimulus-stimulus itu dengan makna dan nilai serta makna dan nilai yang diberikan kepada peristiwa-peristiwa, atau stimulus-stimulus itu mempengaruhi tingkah laku individu. Bila nilai ujian tidak bermakna atau tidak bernilai bagi Anda, maka suasana hati Anda tidak mungkin terpengaruh bila Anda tidak lulus dalam ujian. Apabila nilai ujian sangat penting bagi Anda, maka Anda mungkin akan belajar lebih keras dan respons-respons emosional Anda mungkin sekali menggambarkan hasil-hasil yang diperoleh.
Sistem-sistem pengaturan diri dan rencana-rencana. Para ahli belajar­sosial mengemukakan bahwa orang-orang mengatur tingkah laku mereka sen­diri meskipun orang-orang yang mengamati dan paksaan-paksaan dari luar tidak ada. Orang-orang menetapkan tujuan-tujuan dan patokan-patokan mereka sendiri, merencanakan untuk memperolehnya, dan memuji serta mencerca din mereka sendiri berdasarkan kemajuan yang dicapai. Sesungguhnya para ahli teori belajar-sosial melihat hadiah terhadap diri sendiri (saya melakukan dengan balk!) dan hukuman terhadap diri sendiri (saya sangat bodoh! Saya tidak pernah melakukan ini dengan baik!) adalah sama manjur atau lebih manjur daripada hadiah dan hukuman dari luar.


Teori Belajar tentang Tingkah Laku Abnormal
Para ahli teori belajar memusatkan perhatian pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah laku normal dan abnormal. Seperti telah dikemukakan sebelumnya mereka pada umumnya berpendapat bahwa pola-pola tingkah laku abnormal dipelajari menurut prinsip-prinsip yang sama, seperti pengondisian dan belajar dengan cara mengamati (observational learning) yang menentukan tingkah laku. Di sini akan dikemukakan beberapa cara bagaimana model-model belajar itu menjelaskan tingkah laku abnormal.

Memperoleh Pola-Polo Tingkah Laku Abnormal
Beberapa pola tingkah laku abnormal seperti fobia mungkin dipelajari berda­sarkan pengondisian. Penjelasan pengondisian tentang fobia mengemukakan bahwa stimulus yang sebelumnya netral mungkin menjadi stimulus fobia (yang ditakuti) karena diberi berpasangan atau berasosiasi dengan stimulus yang menyakitkan atau aversif. Misalnya, seorang individu mungkin mengembang­kan ketakutan atau fobia untuk menggunakan lift karena telah mengalami peris­tiwa traumatis atau menyakitkan pada masa lampau. Para ahli teori belajar­ sosial mengemukakan bahwa ketakutan tersebut mungkin telah dipelajari karena mengamati orang lain, yakni mengamati reaksi-reaksi ketakutan orang lain atau dengan mengamati model-model dalam film dan televisi menderita pengalaman-pengalaman traumatis pada waktu berinteraksi dengan stimulus­stimulus fobia. Terapi behavioral adalah penerapan prinsip-prinsip belajar untuk membantu orang-orang mengatasi tingkah laku-tingkah laku yang bermasalah.

Kemampuan Kurang
Tingkah laku abnormal mungkin menggambarkan pengetahuan dan keteram­pilan yang kurang atau tidak mencukupi, misalnya keterampilan-keterampilan sosial. Keterampilan-keterampilan sosial yang kurang dapat mereduksikan peluang-peluang untuk penguatan dari orang lain, terutama bila individu me­narik diri dari situasi sosial. Pendekatan-pendekatan terapeutik yang mengajar­kan orang-orang keterampilan-keterampilan sosial yang efektif telah diterapkan pada sejumlah pola tingkah laku abnormal, termasuk depresi, kecemasan sosial, dan skizofrenia.

Harapan-Harapan yang Merusak Diri Sendiri, Pengkodean (Encoding), dan Sistem-Sistem Pengaturan Diri
Orang-orang yang berpendapat bahwa usaha-usaha mereka akan menemui kega­galan mungkin akan mengembangkan perasaan-perasaan tidak berdaya, putus asa, dan mengalami depresi. Tetapi, harapan-harapan akan kepercayaan diri yang positif meningkatkan motivasi dan ketekunan dalam menangani tantangan­tantangan yang sulit.
Beberapa orang menarik diri dari orang lain dan mengalami depresi karena mereka mengkodekan satu atau dua kegagalan sebagai lambang perasaan tidak berharga dan kegagalan yang hebat dalam interaksi sosial. Beberapa orang menjadi bermusuhan dan melakukan tindakan-tindakan yang kejam karena mereka mengkodekan provokasi-provokasi (hal-hal yang menjengkelkan) sebagai perbuatan-perbuatan tidak adil yang harus dilawan dan bukan sebagai masalah-masalah sosial yang harus dipecahkan. Orang-orang lain tidak dapat mengembangkan atau menggunakan sistem-sistem pengaturan diri yang me­mungkinkan mereka memperkuat diri mereka sendiri untuk melangkah ke tujuan-tujuan yang diinginkan.

Komentar tentang Pendekatan Behavioral
Salah satu nilai yang sangat penting dari teori belajar adalah penekanan pada tingkah laku yang dapat diamati dan stimulus lingkungan. Para ahli teori psi­kodinamik memusatkan perhatian pada variabel-variabel internal yang mung­kin tidak dapat diteliti secara ilmiah, seperti struktur-struktur psikis dan konflik­konflik tak sadar. Para ahli teori belajar menekankan signifikansi variabel­variabel lingkungan atau situasional, seperti hadiah dan hukuman yang dapat diubah-ubah secara sistematis dan pengaruh-pengaruhnya terhadap tingkah laku dapat diukur dengan teliti. Para ahli teori belajar-sosial memperluas jang­kauan model-model pengondisian tentang belajar dengan memperhatikan bagai­mana orang dan variabel-variabel situasi mempengaruhi tingkah laku manusia dan belajar.
Teori-teori belajar sangat berpengaruh terhadap psikologi dan teori-teori ini menangani hal-hal mulai dari belajar sampai pada tingkah laku binatang, motivasi, perkembangan anak, tingkah laku abnormal, dan metode-metode terapi. Model-model belajar telah menghasilkan perkembangan terapi tingkah laku yang menjadi metode perawatan yang terkenal untuk bermacam-macam tingkah laku abnormal. Tetapi tidak boleh disimpulkan bahwa tidak ada kon­troversi mengenai teori belajar dalam menjelaskan tingkah laku abnormal. Para kritikus tidak mempersoalkan validitas dari prinsip-prinsip pengondisian, tetapi mereka mempersoalkan apakah prinsip-prinsip tersebut dapat menjelas­kan tingkah laku-tingkah laku yang sangat kompleks dari individu-individu yang kalut. Dengan kata lain, para kritikus mengemukakan bahwa meskipun prinsip-prinsip teori belajar itu benar, tetapi mungkin tidak cukup untuk menje­laskan tingkah laku-tingkah laku yang lebih kompleks seperti halusinasi-halu­sinasi dan delusi-delusi.
Para kritikus juga berpendapat bahwa model-model belajar tidak dapat menjelaskan keanekaragaman tingkah laku dan pengalaman manusia tidak da­pat direduksikan menjadi respons-respons yang dapat diamati. Banyak ahli teori belajar juga – terutama para ahli teori belajar-sosial – tidak puas dengan pandangan behavioristik tradisional yang mengemukakan bahwa kondisi­kondisi lingkungan secara mekanik memaksakan respons-respons pada organis­me, termasuk manusia. Manusia dalam teori belajar-sosial mengalami pikiran­pikiran dan impian-impian, merumuskan tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi, sedangkan pandangan behavioristik klasik kelihatannya tidak berbicara banyak mengenai apa artinya menjadi manusia. Behaviorisme klasik juga kelihatannya tidak menjelaskan berapa banyak orang berjuang – betapa pun sulit – untuk mewujudkan impian-impian batinnya. Bila orang hanya mengulang tingkah laku-tingkah laku yang diperkuat, bagaimana is berjuang tanpa pemerkuat­pemerkuat eksternal untuk menemukan ide-ide dan karya yang baru?
Berbeda dengan behaviorisme tradisional, para ahli teori belajar-sosial melihat manusia sebagai orang yang aktif mencari informasi bukan sebagai orang yang bereaksi secara pasif terhadap stimulus-stimulus lingkungan. Teori belajar-sosial telah berkembang begitu jauh dari nenek moyangnya behavior­isme sehingga kesamaannya dengan teori-teori dan model-model kognitif benar­benar mencolok.
Teori belajar-sosial juga tidak bebas dari kritik. Para kritikus mengemukakan bahwa teori belajar-sosial tidak mengembangkan pernyataan-pernyataan yang memuaskan mengenai pembentukan kepribadian atau menjelaskan kesa­daran diri. Di samping itu teori belajar-sosial, seperti leluhurnya behaviorisme tradisional, tidak memberikan perhatian pada faktor-faktor genetik dalam men­jelaskan perbedaan-perbedaan individual dalam tingkah laku atau dalam men­jelaskan pola-pola tingkah laku abnormal.

PENDEKATAN KOGNITIF

Pandangan kognitif menjelaskan tingkah laku abnormal berdasarkan pikiran-pikiran yang keliru dan proses-proses pikiran yang kalut (Beck & Emery, 1985). Biasanya masalah-masalah yang berkenaan dengan pikiran dianggap sebagai simtom-simtom dari gangguan-gangguan psikologis, tetapi dalan pandangan kognitif, pikiran-pikiran itu dilihat sebagai penyebab dari gangguan-gangguan itu.

Masalah-Masalah dengan Isi Kognitif (Pikiran-pikiran)
Masalah-masalah dengan isi kognitif (pikiran-pikiran) adalah masalah-masalah dengan apa yang dipikirkan. Bila kita memiliki informasi yang salah tentang suatu situasi, maka respons kita terhadap situasi itu juga mungkin salah atau abnormal. Para ahli teori berpendapat bahwa banyak tipe gangguan mental disebabkan oleh masalah-masalah yang menyangkut isi kognitif. Misalnya, seorang individu mengalami depresi karena is berpikir “aku adalah seorang yang tidak berharga”, atau mungkin bila Anda berpendapat bahwa seekor ular kecil yang tidak berbisa adalah berbahaya, maka Anda akan mengadakan respons dengan suatu ketakutan abnormal (menderita suatu fobia), atau bila Anda berpendapat bahwa banyak intel pemerintah mengelilingi Anda, maka Anda akan berpikir bahwa pemerintah akan melawan Anda (menderita suatu delusi). Contoh-contoh ini mau menggambarkan cara-cara bagaimana isi kog­nitif yang salah bisa menimbulkan suatu penilaian yang salah terhadap suatu situasi dan pada akhirnya menimbulkan tingkah laku abnormal.
Sangat penting diketahui bahwa begitu Anda membentuk suatu kemapanan (kesiapan) kognitif (cognitive set) tertentu, yakni suatu cara yang tetap melihat dunia, maka Anda mungkin memusatkan perhatian hanya pada aspek-aspek lingkungan yang cocok dengan kemapanan itu. Hal yang jelek adalah Anda akan mendistorsikan pengalaman-pengalaman lain supaya cocok dengan kema­panan tersebut. Misalnya, apabila Anda berpendapat bahwa diri Anda sakit­sakitan, Anda akan menginterpretasikan setiap perasaan sakit yang ringan sebagai tanda malapetaka yang hebat dan Anda akan menjadi sangat cemas. Demikian juga bila Anda berpendapat bahwa secara sosial Anda tidak adekuat, maka Anda akan terus-menerus melihat orang lain sebagai orang yang menolak Anda meskipun kenyataannya tidaklah demikian. Distorsi-distorsi tersebut mempertahankan kemapanan-kemapanan kognitif yang didistorsi dan hal tersebut berarti terjadinya tingkah laku-tingkah laku yang tidak tepat dan ting­kah laku-tingkah laku yang terkait dapat juga menghasilkan apa yang dina­makan “ramalan-ramalan pemenuhan-diri sendiri” (self-fulfilling prophecies). Dengan kata lain, apabila Anda berpikir secara tidak tepat bahwa orang lain menolak Anda, maka Anda bisa bertingkah laku dalam cara-cara (misalnya menghindari orang lain atau bermusuhan) yang menyebabkan penolakan yang dipikirkan Anda secara tidak tepat itu ada.
Kognisi-kognisi salah yang merupakan dasar tingkah laku abnormal dilihat sebagai sesuatu yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang terjadi pada awal kehidupan. Suatu kognisi yang salah bisa kemudian tetap laten sampai terjadi suatu situasi yang mirip dengan situasi di mana pada awalnya kognisi itu dibentuk. Misalnya, kasus tentang depresi, seorang individu yang mengalami suatu kegagalan yang hebat (misalnya seorang anak diusir dari sekolah karena tidak mengerjakan ujian dengan baik, dituduh sebagai biang keributan, serta di rumah dimarahi orang tua sebagai anak yang bodoh dan malas) mungkin akan mengembangkan suatu kemapanan yang menimbulkan suatu gambaran­diri sebagai orang yang tidak adekuat, dan selalu gagal. Apabila setelah menjadi dewasa orang yang sama ditempatkan dalam situasi evaluatif yang lain, maka pikiran-pikiran lama tentang perasaan tidak adekuat dan kegagalan akan muncul kembali dan menyebabkan perasaan-perasaan depresi.

Masalah-Masalah dengan Proses-Proses Kognitif
Masalah-masalah dengan proses-proses kognitif adalah masalah-masalah de­ngan bagaimana orang berpikir. Perhatikan apabila proses kognitif kacau, maka isi kognitif bisa juga terpengaruh, tetapi akibat-akibatnya sangat berbeda dari apa yang terjadi bila hanya ada masalah-masalah dengan isi kognitif. Bila ada masalah-masalah dengan isi kognitif, maka kepercayaan-kepercayaan seorang individu adalah salah tetapi pikiran-pikirannya mudah dipahami. Sebaliknya, apabila ada masalah-masalah dengan proses-proses kognitif, maka tidak hanya kepercayaan-kepercayaan individu salah tetapi juga pikiran-pikiran tidak dapat dipahami. Perhatikan contoh percakapan berikut antara seorang pewawancara dan seorang pasien yang menderita skizofrenia.

Pewawancara     : Apakah Anda gelisah dan tegang akhir-akhir ini?
Pasien                 : Tidak, aku mendapat selada satu bongkol.
Pewawancara     : Anda mendapat selada satu bongkol? Aku tidak me­ngerti.
Pasien                 : Ya, hanya selada satu bongkol.
Pewawancara     : Katakan kepadaku tentang selada. Apa yang dimak­sudkan Anda?
Pasien                 : Ya … Selada adalah suatu transformasi dari seekor puma (sejenis harimau) yang mati yang jatuh sakit pada jari kaki singa. Dan is menelan singa itu dan sesuatu terjadi … melihat… Gloria dan Tommy, mereka adalah dua ke­pala dan mereka bukan ikan paus. Tetapi mereka melari­kan diri dengan sejumlah besar orang karena muntah, dan hal-hal seperti itu (Neale & Oltmanns, 1980: 102).

Gangguan-gangguan pada proses-proses kognitif pada umumnya merupa­kan gangguan yang lebih berat dibandingkan dengan gangguan-gangguan pada isi kognitif. Pertama, Anda mengalami depresi karena tetap melebih-lebihkan aspek negatif clan kehidupan Anda; kedua, karena berpikir dan berkomunikasi seperti individu dalam contoh di atas.
Para ahli teori kognitif berpendapat bahwa masalah-masalah dengan pro­ses-proses kognitif disebabkan oleh masalah-masalah dengan perhatian dan asosiasi-asosiasi. Gagasan dasar adalah (1) individu-individu telah kehilangan perhatian, (2) selama kehilangan perhatian itu, mereka dikacaukan oleh pikiran­pikiran lain, dan (3) kemudian mereka berputar-putar pada pikiran-pikiran bare dan bukan mengikuti pikiran-pikiran semula. Pembicaraan pasien tidak menjadi obrolan yang lengkap, tetapi terdiri dari potongan-potongan pikiran dan tidak satupun dari potongan-potongan pikiran itu berkembang secara sem­puma karena pasien kacau (kalut) dan terns melompat kepada pikiran ber­ikutnya.
Potongan-potongan pikiran tidak disambung secara acak, melainkan de­ngan bermacam-macam asosiasi, salah satu potongan pikiran mendatangkan pikiran berikutnya. Kata yang digunakan bisa menyebabkan pikiran lain yang berdasarkan arti lain dari kata tersebut tanpa membuat peralihan yang jelas bagi pendengar. Misalnya, individu mungkin berkata, “Suwamo meminjamkan kepadaku penanya yang penuh dengan narapidana.” Dalam contoh ini, kata pena pada mulanya digunakan untuk menyebut suatu alat untuk menulis, tetapi penggunaan kata tersebut menyebabkan pikiran-pikiran tentang sebuah penjara. Pembicara kemudian bercerita dan menyelesaikan kalimat dengan suatu ucapan yang berhubungan dengan penjara. Karena bermacam-macam asosiasi dapat mengacaukan pikiran-pikiran baru, maka sangat sulit mengikuti pikiran-pikiran tersebut dan memahami apa yang sedang disampaikan.
Perlu diperhatikan di sini bahwa dari segi pandangan kognitif masalah-masalah yang terlihat pada orang-orang yang kalut tidak dianggap berbeda secara kualitatif dari masalah-masalah yang dialami oleh orang-orang normal. Masalah-masalah dari orang-orang yang kalut hanya sebagai hal-hal yang eks­trem dari tipe-tipe masalah sama yang dialami oleh orang-orang yang normal. Kadang-kadang kita semua bertingkah laku secara tidak tepat karena kita me­lebih-lebihkan makna dari suatu peristiwa, membiarkan perhatian kita hilang, atau membuat kesalahan asosiatif yang menyebabkan kesalahpahaman. Jika benar bahwa tingkah laku kognitif dari orang-orang kalut hanya merupakan hal­hal yang ekstrem dari tingkah laku kognitif yang terlihat pada orang-orang nor­mal, maka pengetahuan kita yang Was tentang tingkah laku kognitif dari orang­orang yang normal dapat digunakan untuk memahami tingkah laku abnormal.

Komentar tentang Pendekatan Kognitif
Pandangan kognitif sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendekatan­pendekatan terapeutik kontemporer. Pendekatan-pendekatan kognitif terhadap terapi seperti pendekatan-pendekatan behavioral memberi penekanan pada perubahan tingkah laku “di sini dan kini”, bukan menggali masa lampau yang jauh secara mendalam seperti yang dilakukan oleh para terapis yang mengguna­kan pendekatan psikodinamik tradisional (psikoanalisis Freud). Kesamaan antara pandangan pendekatan behavioral dan pendekatan kognitif direpresen­tasikan dengan sangat baik dalam terapi behavioral-kognitif, suatu bentuk terapi yang mengintegrasikan teknik-teknik behavioral dan teknik-teknik kognitif Para terapis behavioral-kognitif menggunakan bermacam-macam teknik perawatan yang membantu perubahan-perubahan behavioral dan kognitif yang adaptif.
Karena menunjukkan masalah-masalah yang menyangkut perhatian dan asosiasi-asosiasi, maka pandangan kognitif merupakan suatu penjelasan yang baik untuk gangguan-gangguan pikiran dan suasana hati. Tetapi, penjelasan kognitif terbatas karena pandangan ini tidak menjelaskan mengapa masalah­masalah yang berkenaan dengan perhatian dan asosiasi-asosiasi itu ber­kembang. Untuk menjelaskan perkembangan dari masalah-masalah ini, harus diperhatikan juga penjelasan-penjelasan dari pandangan-pandangan lain. Misal­nya, telah dikemukakan bahwa masalah-masalah yang menyangkut perhatian dan asosiasi-asosiasi seperti terdapat pada skizofrenia mungkin disebabkan oleh rangsangan neurologis yang sangat tinggi. Apabila halnya demikian, pen­jelasan kognitif dan penjelasan fisiologis mungkin bekerja sama untuk menje­laskan tingkah laku abnormal ini.
PENDEKATAN FISIOLOGIS

Dalam uraian mengenai sejarah psikologi abnormal (kesehatan mental) pada Bab 2 telah dikemukakan bahwa gangguan-gangguan tubuh (fisik) menyebab­kan gangguan-gangguan tingkah laku. Tidak mengherankan kalau pandangan fisiologis menjadi populer pada abad ke- 18 dan 19, dan pada waktu itu mulai berkembang ilmu anatomi, fisilogi, dan genetika dan adanya pandangan bahwa penyebab fisiologis mungkin ditemukan untuk setiap gangguan baik fisik mau­pun tingkah laku. Pendorong utama untuk segi pandangan ini muncul dari penemuan-penemuan mengenai hubungan antara gangguan-gangguan fisik dan ganggguan tingkah laku.
Informasi belakangan mengenai peran dari faktor-faktor fisiologis men­dukung pandangan bahwa faktor-faktor fisiologis itu penting untuk beberapa kondisi mental, tetapi tidak untuk semua kondisi mental. Perkembangan modem dalam beberapa bidang biologi dan pengobatan telah mendorong para peneliti untuk lebih sering melakukan penelitian. Misalnya, alat dan teknik PET (positron emission tomography) scan dan CT (computerized tomography) scan, yang memberi kemungkinan untuk melihat bagaimana kerja otak tanpa meng­gunakan pembedahan mengawali usaha penelitian yang sebelumnya belum dipikirkan mengenai hubungan antara tingkah laku dan otak. Penelitian me­ngenai hereditas dan genetika juga telah memperlihatkan bahwa cacat-cacat kromosom tertentu akan menyebabkan gangguan-gangguan metabolis, seperti phenylketonuria, yang menyebabkan bentuk-bentuk retardasi mental tertentu.
Kebanyakan orang membedakan an­tara tubuh dan jiwa meskipun arti yang dihubungkan dengan istilah-istilah itu sa­ngat berbeda. Tubuh mengacu pada organ­ organ, otot-otot, tulang-tulang, dan otak, sedangkan jiwa (mind) biasanya mengacu pada sikap-sikap, perasaan-perasaan, dan pikiran-pikiran. Meskipun kita pada umum berbicara seolah-olah dunia tubuh dan dunia jiwa sama sekali terpisah, namun pe­misahan antara tubuh dan jiwa sesungguh­nya hanya terdapat dalam pikiran dan bukan dalam kenyataan. Proses-proses kognitif dan tubuh terjalin antara satu dengan yang lainnya, meskipun jumlah masing-masing   proses itu digunakan seseorang dalam menjelaskan tingkah laku maladaptif (abnormal) tergantung pada pandangan yang dianutnya.       Selain itu, bukti bare mungkin mengubah pandangan-pandangan yang sudah berlaku dari waktu kewaktu.
Dalam pandangan yang sangat eks­trem, segi pandangan fisiologis mengemukakan bahwa semua tingkah laku abnormal disebabkan oleh gangguan pada struktur atau fungsi tubuh. Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh cacat bawaan yang mungkin menyebabkan kerusakan permanen, oleh cacat yang diperoleh melalui luka atau infeksi se­belum atau sesudah kelahiran, atau oleh suatu malfungsi yang kurang lebih bersifat sementara yang disebabkan oleh suatu kondisi yang ada pada waktu tertentu, misalnya demam yang tinggi disebabkan oleh infeksi yang bersifat sementara. Segi pandangan yang kurang ekstrem, yang masih menekankan pentingnya fungsi fisiologis, mengemukakan bahwa tingkah abnormal merupakan produk gabungan dari tiga tipe gangguan proses: dalam tubuh (misalnya kekurangan hormon), dalam fungsi psikologis (misalnya kecenderungan ke arah perasaan malu), dan dalam lingkungan sosial (misalnya angka pengangguran yang tinggi dalam masyarakat).
Ada sejumlah faktor fisiologis yang mempengaruhi tingkah laku organ­isme. Bagaimana kita bertingkah laku dan berpikir tergantung tidak hanya pada tindakan masing-masing faktor saja, tetapi juga pada hubungan antara faktor-faktor itu. Faktor-faktor genetik, otak dan sistem saraf, dan kelenjar­kelenjar endokrin memainkan peran yang penting dalam proses-proses psi­kologis dan tingkah laku manusia.

Faktor-Faktor Genetika dan Genetika Tingkah Laku
Hereditas memainkan peran yang penting dalam menentukan sifat-sifat individu. Struktur-struktur yang diwarisi individu membatasi tingkah laku individu (manusia tidak bisa terbang kecuali kalau menggunakan perlengkapan artifisial; Kimble, 1989). Cabang biologi yang mempelajari hereditas disebut genetika. Genetika tingkah laku menjembatani ilmu pengetahuan biologi dan psikologi. Genetika tingkah laku berbicara bagaimana hereditas mempengaruhi tingkah laku.
Genetika adalah penting dalam meneruskan sifat-sifat fisik, seperti tinggi, ras, dan warna mata. Genetika juga merupakan faktor penyebab sifat-sifat psi­kologis, seperti inteligensi (Plomin, 1989), ekstraversi, neurotikisme (Loehlin, et al., 1982; Martin & Jardine,1986; Pederen, et al., 1988; Scarr, et al., 1981., Tellegen, et al., 1988), rasa malu (Kagan, 1984; Plomin, 1989), dan sifat agresif (Goldsmith, 1983).
Pengaruh-pengaruh genetik juga terdapat pada pola-pola tingkah laku abnormal, seperti skizofrenia (Gottesman & Shields, 1982), gangguan bipolar (Vandenberg, et al., 1986), alkoholisme dan kepribadian antisosial (Mednick, et al., 1987). Dalam bab-bab selanjutnya akan disinggung lagi secara terinci bukti mengenai sumbangan genetik terhadap pola-pola tingkah laku ini dan pola-pola tingkah laku abnormal lainnya. Di bawah ini akan dikemukakan mekanisme-mekanisme fisiologis hereditas.

Gen-Gen dan Kromosom-Kromosom
Gen-gen adalah unit-unit dasar hereditas dan ditemukan dalam kromosom­kromosom dari setiap set tubuh manusia. Kromosom-kromosom adalah struk­tur-struktur genetik yang terdapat pada inti set dan pada setiap kromosom ter­dapat lebih dari 1000 gen dan kira-kira 100.000 gen terdapat pada setiap set tubuh manusia. Set manusia biasanya mengandung 46 kromosom (ada 26 pasang kromosom).
Kromosom-kromosom itu tersusun dari molekul-molekul DNA (deoxyri­bonucleic acid) yang besar dan kompleks. Gen-gen menempati bermacam­macam bagian mengikuti panjangnya kromosom-kromosom itu. Bentuk atau struktur dari DNA pertama kali diperlihatkan oleh James Watson dan Francis Crick (1958). Dalam semua makhluk hidup, DNA berbentuk spiral rangkap yang menyerupai tangga yang berputar-putar (berliku-liku). Urutan dari gen­gen itu disebut kode-kode genetik.

Kombinasi sifat-sifat yang ditentukan oleh kode-kode genetik disebut genotype-genotype. Tetapi, sifat-sifat individu juga ditentukan oleh faktor­faktor lingkungan. Sifat-sifat aktual individu adalah phenotype phenotype-nya, yakni sifat-sifat yang diungkapkan individu merupakan interaksi antara gen­gen dan lingkungannya. Dengan demikian, misalnya, sifat pemalu mungkin meningkat atau bahkan berkurang oleh pengaruh-pengaruh sosial yang kuat. Demikian juga halnya dengan pola-pola tingkah abnormal. Menurut pandangan para ahli genetika, kita mungkin tidak mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku abnormal tertentu, seperti depresi atau skizofrenia, kecuali kita memiliki genotype tertentu dan diekspose pada pengaruh-pengaruh lingkungan tertentu yang menimbulkan stres (konflik perkawinan, kehilangan orang yang dicintai, dan sebagainya) yang menyebabkan munculnya pola tingkah laku abnormal tertentu. Dalam bahasa para ahli genetika, tingkah laku orang-orang yang me­miliki genotype-genotype tersebut untuk bentuk-bentuk tingkah laku abnormal tertentu dikatakan memiliki predisposisi genetik yang berpeluang mengem­bangkan pola tingkah laku abnormal dalam mengadakan respons terhadap stres.
Interaksi antara genetika dan lingkungan dalam menentukan perkembang­an pola-pola tingkah laku diungkapkan dalam model yang sering disebut sebagai diathesis-stress hypothesis. Menurut pendekatan ini, genotype adalah suatu kerawanan (sifat mudah diserang) dalam individu dan bila berinteraksi dengan stres akan menimbulkan gangguan itu (yang merupakan bagian dari phenotype). Tidak semua keturunan yang rentan (mudah diserang) itu akan mengembangkan gangguan itu karena banyak faktor yang mempengaruhi: lingkungan, tingkah laku, dan psikologis, dan sebagainya. Tetapi dalam beberapa kasus, diathesis (predisposisi fisiologis atau kerentanan) mungkin begitu kuat sehingga orang itu akan mengembangkan gangguan itu meskipun is berada dalam lingkungan yang sangat ramah. Diathesis-stress hypothesis mungkin berlaku bagi sejumlah gangguan, terutama skizofrenia.
Faktor utama dalam beberapa abnormalitas adalah struktur atau jumlah dari kromosom individu tidak mengikuti apa yang sudah lazim. Anomali­anomali kromosom mungkin menghasilkan abnormalitas-abnormalitas pada otak. Misalnya, orang-orang yang menderita Down Syndrome, suatu tipe retar­dasi mental, memiliki tiga kromosom 21 dan bukan dua. Lebih dari 4.000 penyakit dikenal sebagai akibat dari kegagalan atau abnormalitas dari suatu gen, tetapi dalam kebanyakan kasus, gen-gen yang aktual tidak pernah diidentifikasikan atau ditetapkan untuk suatu kromosom tertentu (Sarason & Sarason, 1993). Walaupun demikian, peta-peta dari kromosom-kromosom yang disebut karyotype, telah membantu para ahli genetika untuk mengidentifi­kasikan anomali-anomali kromosom pada suatu saat, harapan untuk memetakan genome, yakni kumpulan lengkap dari gen-gen seseorang akan membawa perubahan pada biologi.
Para ilmuwan mengetahui bahwa gen-gen yang cacat dapat ada walaupun tidak ada penyimpangan kromosom yang jelas dan mungkin menyebabkan abnormalitas metabolis atau biokimiawi. Gen-gen tertentu mempengaruhi tingkah laku melalui proses yang panjang. Pengaruh dari gen-gen itu mungkin diubah oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum atau sesudah kelahiran, juga oleh tindakan dari gen-gen lain. Dasar untuk tindakan dari gen adalah DNA (deoxyribonucleic acid) yang ditemukan dalam kromosom-kromosom. Penemuan DNA sebagai sarana untuk mengetahui informasi genetik meng­hasilkan penemuan mengenai bagaimana gen-gen itu bekerja.
Kadang-kadang ada suatu gen tertentu yang diidentifikasikan sebagai penyebab suatu karakteristik atau penyakit tertentu, namun orang yang ber­sangkutan tidak memperlihatkan masalah atau mungkin hanya memperlihatkan simtom-simtom yang ringan. Istilah penetrance telah digunakan untuk me­nyebut persentase dari kasus-kasus di mana bila suatu gen tertentu ada, maka suatu sifat, karakteristik, atau penyakit tertentu akan benar-benar memani­festasikan dirinya dalam organisme yang berkembang secara lengkap. Misalnya, molekul-molekul DNA yang diterima individu dari orang tua mungkin membawa blueprint untuk tubuh yang kuat dan gagah, tetapi hal ini tidak dengan sendirinya individu tersebut menjadi seorang atlet. Makanan yang dimakan, jumlah latihan yang diperoleh, motivasi, juga penyakit atau kecelakaan yang dialami individu sebelum atau sesudah kelahiran akan mempengaruhi bagai­mana predisposisi genetik individu untuk kekuatan fisik itu diungkapkan. Pan­dangan fisiologis mencari bukti transmisi genetik pada pola-pola tingkah laku abnormal melalui bermacam-macam penelitian, seperti penelitian mengenai per­talian keluarga, termasuk penelitian mengenai saudara kembar dan anak angkat.

Penelitian Mengenai Pertalian Keluarga
Semakin dekat hubungan darah individu-individu, maka semakin banyak juga gen yang dimiliki bersama. Anak-anak memiliki separuh dari gen-gen yang diperoleh dari masing-masing orang tua mereka, dengan demikian dikatakan 50% bagian yang sama dalam warisan genetik antara orang tua dan anak-anak mereka. Kedua saudara kandung (saudara laki-laki dan saudara perempuan) memiliki separuh warisan genetik yang sama. Paman dan bibi yang berhu­bungan darah dengan keponakan laki-laki dan kemenakan perempuan memiliki 25% warisan genetik yang sama, dan saudara-saudara sepupu memiliki 12,5% warisan genetik yang sama.
Untuk menentukan apakah suatu pola tingkah laku abnormal memiliki dasar genetik, para peneliti memilih satu kasus dan kemudian meneliti bagai­mana gangguan itu tersebar pada para anggota keluarga. Kasus yang pertama didiagnosis itu disebut index case atau proband. Apabila distribusi gangguan itu pada para anggota keluarga mengarah pada pertalian keluarga, maka ke­mungkinan terjadi adanya faktor genetik.

Penelitian Saudara Kembar
Kadang-kadang sebuah sel telur yang dibuahi (zygot) membelah menjadi dua yang terpisah, dengan demikian masing-masing berkembang menjadi seorang individu. Dalam kasus tersebut terdapat 100% bagian yang sama dalam kan­dungan genetik, dan pasangan itu disebut saudara kembar identik (MZ). Kadang-kadang seorang wanita melepaskan dua sel telur pada bulan yang sama, dan kedua-duanya dibuahi. Dalam kasus tersebut, zygot-zygot itu berkembang menjadi saudara kembar bersaudara (DZ). Saudara kembar bersaudara memiliki 50% bagian yang sama dalam warisan genetik mereka, seperti halnya dengan saudara-saudara kandung lain.
Saudara kembar identik adalah penting dalam meneliti pengaruh-pengaruh hereditas dan lingkungan karena perbedaan-perbedaan antara saudara kembar identik merupakan akibat dari pengaruh-pengaruh lingkungan. Saudara kembar identik adalah serupa dan tingginya sama dibandingkan dengan saudara kembar bersaudara. Dalam penelitian-penelitian mengenai saudara kembar, para pene­liti mengidentifikasikan orang-orang yang menderita gangguan entah saudara kembar identik atau saudara kembar bersaudara dan kemudian meneliti saudara­-saudara kembar lain. Peran faktor-faktor genetik ditetapkan bila saudara kembar identik mengandung kemungkinan lebih besar mengalami gangguan yang sama dibandingkan dengan saudara kembar bersaudara.
Tingkat konkordansi dalam penelitian saudara kembar mengacu pada hubungan antara saudara kembar atau para anggota keluarga lain berkenaan dengan suatu karakteristik atau sifat tertentu. Apabila kedua saudara kembar itu memperlihatkan sifat tersebut, maka pasangan kembar itu dikatakan kon­kordan. Bila mereka tidak memperlihatkan sifat tersebut, maka pasangan kem­bar itu dikatakan diskordan. Misalnya, penelitian-penelitian telah memperlihat­kan bahwa angka konkordansi para pasien skizofrenik adalah tinggi untuk saudara kembar identik dan angka konkordansi itu turun untuk pasangan kembar bersaudara dari jenis kelamin yang sama. Tetapi, fakta bahwa angka konkor­dansi itu tidak mencapai 100 persen untuk pasangan kembar identik menunjuk­kan bahwa pengaruh-pengaruh lingkungan memainkan peran. Meskipun terdapat kesan yang sangat kuat adanya komponen genetik dalam skizofrenia, namun tidak boleh dilupakan bahwa pengalaman dapat mengurangi atau memperkuat pengaruh-pengaruh kecenderungan herediter.
Telah diadakan pula penelitian terhadap sejumlah saudara kembar tiga identik, yang semuanya menderita gangguan-gangguan kronis yang berat (Mc Guffin, et. al, 1982). Dua dari ketiga saudara kembar itu mengalami periode­periode halusinasi pendengaran dan simtom-simtom skizofrenik lain yang jelas. Antara periode-periode ini mereka berfungsi pada tingkat yang rendah dan tidak mampu bekerja. Saudara kembar yang ketiga juga mengalami periode­periode psikotik (meskipun tidak jelas seperti skizofrenik), tetapi dia dapat berfungsi pada tingkat yang relatif tinggi dan dapat melaksanakan tugas (pe­kerjaan) di antara episode-episode psikiotisnya. IQ-nya lebih tinggi dibanding­kan dengan saudara-saudaranya dan hubungan dengan ayahnya sangat kurang emosional (kurang ribut) dibandingkan dengan kedua saudaranya yang lain. Kasus ini memperlihatkan bahwa meskipun orang-orang memiliki hereditas yang sama, namun tingkat-tingkat fungsi mereka mungkin berbeda dalam hal­hal yang penting.
Sejauh manakah gen-gen itu telah mempengaruhi tingkah laku telah menjadi bahan perdebatan sekurang-kurangnya untuk dua abad yang terakhir. Pada abad ke-19 terjadi perdebatan yang sengit yang dinamakan perdebatan mengenai hubungan antara nature dan nurture. Hereditas (nature) dan ling­kungan (nurture) dilihat sebagai dua kekuatan yang terpisah dan berbeda. Yang menentukan tingkah laku adalah hereditas (nature) atau lingkungan (nurture), tetapi tidak bisa kedua-duanya. Dewasa ini kebanyakan psikolog berpendapat bahwa saling pengaruh dari banyak kekuatan, khususnya interaksi antara infor­masi yang dimiliki oleh gen-gen dan pengalaman yang diberikan oleh lingkung­an akan menentukan pola-pola tingkah laku.
Seperti dikemukakan oleh kasus di atas dan juga kasus-kasus lainnya, lingkungan keluarga juga dapat mempengaruhi anak-anak secara berbeda. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga memiliki pengalaman-pengalaman yang berbeda. Dalam usia yang berbeda mereka mengalami pendapatan dan status sosial orang tua naik dan turun. Mereka juga diperlakukan secara berbeda oleh orang tua dan para saudara atau saudari mereka. Urutan kelahiran, jarak usia, dan perbedaan-perbedaan jenis kelamin adalah penting. Selanjutnya, anak­-anak memiliki pengalaman-pengalaman berbeda di luar keluarga, yakni peng­alaman dengan teman kelas, guru-guru, dan teman-teman mereka. Bermacam­-macam peristiwa mungkin terus-menerus membawa akibat yang bertambah dan membuat anak-anak dalam keluarga yang sama menjadi berbeda dalam hal-hal yang tidak dapat diprediksikan. Karya dari para ahli genetika sekarang mengemukakan bahwa perbedaan-perbedaan dalam kepribadian pada para anggota keluarga dapat dijelaskan sebagai kombinasi dari perbedaan-perbedaan genetik pada anak-anak dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang tidak sama (hubungan-hubungan yang unik dan pengalaman-pengalaman hidup dari masing-masing anak; Plomin, 1990).

Penelitian tentang Adopsi
Penelitian tentang adopsi dapat merupakan alasan yang kuat terhadap faktor genetik dalam penampilan sifat-sifat psikologis dan pola-pola tingkah laku, termasuk pola-pola tingkah laku abnormal. Misalnya, anak-anak diasuh oleh orang tua yang mengangkat sejak anak-anak itu berusia dini – mungkin sejak lahir, mereka memiliki latar belakang lingkungan yang sama dengan orang tua



[1] Pengertian (pengalaman) prototaksik = pengertian (pengalaman) yang terdiri dari rangkaian peristiwa yang terpisah-pisah yang tidak berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Bentuk pengertian (pengalaman) ini yang paling murni adalah pengertian (pengalaman) bayi. Pengertian (pengalaman) parataksik = pengertian (pengalaman) yang tampaknya mempunyai hubungan kausal (sebab-akibat), tetapi tidak memiliki hubungan yang logis. Contohnya, sopir yang mengendarai mobil dan menabrak kucing akan mengalami nasib sial
[2] Pengertian (pengalaman) sintaksik = pengertian (pengalaman) yang melahirkan bentuk berpikir tertinggi yang dapat dicapai individu. Dalam pengertian (pengalaman) sintaksik, manusia dengan kesepakatan kelompok orang dan berdasarkan susunan logis melahirkan sesuatu, misalnya pemyataan-pemyataan melalui simbol-simbol tertentu. Contoh yang konkret adalah kesepakatan masyarakat terhadap huruf­huruf dan angka-angka
Sitem saraf
Otak terdiri dari 12 milyar sel yang dinamakan neuron. Tali atau rantai neuron-neuron itu membentuk suatu serabut saraf. Ukuran dan bentuknya sangat berbeda tergantung dari bentuk fungsi yang dilayaninya, tetapi mereka semua memiliki sejumlah karakter struktural dan fungsional.
Tubuh sel  (soma) berisi inti sel dan sel tubuh memetabolismekan oksigen supaya melaksankan tugas dari sel. Serabut pendek yang  disebut dendrit mencuat dari tubuh sel dan menerima impuls-impuls saraf dari neuron-neuron yang berdekatan. Setiap neuron memiliki akson yang tunggal yang mencuat seperti batang pohon dari tubuh sel. Akson- akson adalah mikroskopis karena akson-akson tersebut tipis. Akson tersebut merupakan bagian dari neuorn-neuron yang memanjang sampai beberapa kaki sehingga mereka menyampaikan impuls-impuls diantara jari kaki dan urat saraf tulang belakang.  Bentuk –bentuk yang mengembung disebut tombol-tombol berada diujung terminal akson. Neurin-neuron menyampaikan impuls-impuls saraf  ke satu arah, dari dendrit-dendrit atau tubuh sel melewati akson keterminal akson dan tombol-tombol terminal akson.
Transmisi Sinaptik
Neurotransmiter mengadakan perubahan-perubahan kimia dalam neuron-neuron yang menerima impuls-impuls saraf itu. Perubahan-perubahan ini menyebabkan akson-akson  mengantarkan impuls-impuls saraf itu dalam bentuk elektrikal. Neuron pertama, yakni neuron yang mengirim impuls saraf disebut neuron presinaptik, dan neuron kedua, yakni neuron yang mnerima impils sarf itu disebut neuron postsinaptik.
Untuk bisa meolompati sinapsis itu, impuls membuat tombol terminal mengeluarkan suatu bahan kimia, yang dinamakan neurotransmiter. Neurotranmoter kemudian mengalir melalui sinapsis dan merangsang neuron berikutnya. Proses yang menyebabkan impuls saraf berjalan menuju ke akson disebut proses elektrikal, sedangkan proses yang menyebabkan impuls saraf yang melewati sinapsis disebut proses kimia.
Transmisi melawati sinapsis adalah penting untuk fungsi otak karena bila hanya karena satu alasan impuls itu tidak diteruskan, maka impuls tersebut berhenti dan akibatnya akan hilang. Neuron yang terbakar menurut apa yang dikenal sebagai all-non principle. Dengan kata lain, bila neuron-neuron dirangsang, neuron-neuron itu entah terbakar atau tidak, dan bila mereka terbakar dan itu terjadi dengan suatu energi tertentu dengan tidak memperhatikan kekuatan stimulasi yang menimbulkan pembakaran itu. Apabila neurotransmiter terlalu banyak, maka mungkin aktivitas neurologis berlebihan yang disebabkan karena terlalu banyak neuron terbakar.
Neuortranmiter
Ada banyak neurotransmiter, tetapi sekarang hanya sedikit saja yang dihubungkan dengan tingkah laku abnormal, seperti norepinefrin dan serotonin. Norepineferin secara kimia adalah sama dengan epinefrin. Norepinefrin bertindak sebagai neurotransmiter dan hormon, sama seperti epinefrin, norepinefrin mempercepat denyut jantung dan proses tubuh lainnya. Norepinefrin berfungis dalam belajar, ingatan, dan makan, serta gangguan emosional umum. Ketidakseimbangan norepinefrin menyebabkan gangguan suasana hati dan mungkin juga gangguan-gangguan makan. Neurotransmiter lain, yakni serotonin dan ketidakseimbangan serotonin mungkin menyebabkan kecemasan, insomnia, dan gangguan-gangguan suasana hati.
Neurotransmiter termasuk kedalam suatu kelompok agen umum yang dikenal dengan sebutan ”amin biogenik” (biogenic amines) atau hanya disebut “amin”. Karena neurotranmiter adalah “amin”, maka penjelasan mengenai tingkah laku abnormal yang menyangkut masalah-masalah neurotransmiter sering disebut “hipotesis amin”. Setiap neurotranmiter dapat beroparasi pada lebih satu daerah otak. Fakta ini menjelaskan mengapa kita melihat kombinasi dari sejumlah simtom yang tidak terkait dalam beberapa gangguan.
Pengaruh dari neurotransmiter pada lebih dari satu daerah otak juga menjelaskan beberapa akibat samping yang terjadi bila obat-obat digunakan untuk merawat gangguan-gangguan psikologis. Sebagai akibatnya adalah obat-obat tidak hanya mempengaruhi proses-proses pikiran orang-orang, tetapi juga mempengaruhi tingkah laku motor mereka dan menimbulkan akibat samping, seperti berjalan kaku atau kontraksi-kontraksi otot yang tidak terkendali.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Transmisi Sinaptik
  1. Tingkat-tingkat neurotransmiter. Jumlah neurotransmiter yang terdapat pada sinapsis sangat penting untuk transmisi impuls saraf dari satu neuron ke neuron lainnya. Bila tingkat neurotransmiter terlalu rendah, maka neuron berikutnya tidak cukup terangsang untuk terbakar, dan bila terlalu tinggi, maka akan terlalu banyak aktivitas akan terangsang. Ada tiga proses yang mempengaruhi tingkat neurotransmiter  pada sinapsis, yakni: (a) Produksi (neurotranmiter mungkin memproduksi terlalu banyak neurotransmiter); (b) Metabolisme (zat-zat yang disebut enzim-enzim yang terdapat pada daeraha sinapsis mungkin memetabolisasikan, yakni menghancur atau mengubah terlalu banyak atau terlalu sedikit neurotransmiter; (c) Penyerapan kembali (re-uptake), yakni neuron presinaptik mungkin menghabiskan atau menghisap kembali neurotransmiter sebelum ia dapat merangsang neuron yang berikutnya.
Suatu malfungsi dari salah satu diantara proses-proses ini mungkin mengganggu tranmisi sinaptik dan mengakibatkan tingkah laku abnormal.
  1. Agen-agen penghambat. Neurotransmiter merangsang neuron postsinaptik dengan memasuki tempat-tempat reseptor (receprot sites) pada neuron postsinaptik. Zat-zat kimia lain yang disebut agen-agen penghambat (blocking agents) secara struktural sama dengan neurtransmiter dan juga dapat memasuki tempat-tempat reseptor, tetapi mereka tidak menyebabkan neuron terbakar. Bila agen-agen penghambat ada, maka mereka menghambat neurotransmiter untuk memasuki tempat-tempat reseptor, dengan demikian neuron postsinaptik tidak dapat dirangsang.
  2. Neuorn-neuron inhibitor. Neuton inhibitor adalah neuorn yang terletak pada sinapsis diantara dua neuorn lain, yang menghambat transmisi diantara neuron-neuron ini. Neuron-neuron inhibitor bekerja entah untuk mereduksikan tingkat neuron transmiter yang dikeluarkan oleh neuron presinaptik atau membuat neuron postsinaptik kurang peka terhadap stimulasi.
  3. Kepekaan neuron. Semakin peka neuron-neuron itu, maka semkain besar juga kemungkinan mereka terbakar bila dirangsang dibandingkan dengan neuron-neuron yang kurang peka.
  4. Jumlah tempat reseprot (receptor sites). Tingkat transmisi sinaptik dapat dipengaruhi oleh jumlah tempat reseptor pada neuron postsinaptik. Pada orang-orang yang memiliki banyak reseptor, kemungkinan neuron dirangsang meningkat, dan dengan demilian meningkatkan transmisi.
Penyebab-Penyebab Masalah yang Berkenaan dengan Transmisi Sinaptik
Mungkin sekarang diusahakan untuk melangkah lebih jauh lagi dan menentukan apa yang menyebabkan masalah-masalah yang berkenaan dengan transmisi sinaptik. Sekurang-kurangnya ada tiga penyebab. Pertama, masalah-masalah yang menyangkut tranmisi sinaptik mungkin disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, seperti tes pribadi atau lingkungan.
Kedua, masalah-masalah yang menyangkut transmisi sinaptik mungkin memiliki dasar genetik, maka bisa diharapkan gangguan-gangguan mental akan terjadi dalam keluarga-keluarga. Akhirnya, masalah-masalah yang menyangkut transmisi sinaptik mungkin disebabkan oleh kerusakan sistem neurologis yang terjadi secara spontan (atau sekurang-kurangnya kerusakan itu mungkin kelihatannya terjadi secara spontan karena kita belum cukup mampu mengidentifikasi penyebabnya).
Bagian-Bagian Sistem Saraf
Sistem saraf ada dua macam, yakni sistem saraf pusat yang terdiri dari semua sel saraf (neuron-neuron) otak dan urat saraf tulang belakang. Dan sistem saraf tepi yang terdiri dari semua neuron yang menghubungkan sistem saraf pusat dengan kelenjar-kelenjar, otot-otot, dan reseptor- reseptor sensorik. Sistem saraf tepi juga dibagi dua, yakni sistem somatik (yang mengirim informasi dari organ-organ panca indera ke otot-otot yang menjalankan gerakan sadar) dan sistem otonomi ( yang mengatur aktivitas kelenjar-kelenjar dan organ-organ bagian dalam tubuh).
Bagian lebih rendah dari otak, atau otak belakang terdiri dari medula, pons,dan cerebellum. Medula memainkan peran dalam fungsi yang sangat penting, seperti denyut jantung,pernapasan, dan tekanan darah, serta pada waktu tidur, bersin, dan batuk. Pons mengirim informasi tentang gerakan tubuh dan terlibat dalam fungsi-fungsi yang ada hubungannya dengan perhatian, tidur, dan pernapasan. Di belakang pons terdapat cerebellum atau otak kecil. Cerebellum menjalankan fungsi yang berkenaan dengan keseimbangan dan tingkah laku motor (otot). Luka pada cerebellum dapat mengganggu koordinasi motor dan menyebabkan orang berjalan terhuyung-huyung, dan tidak tergang.
Ada lima daerah terpenting pada bagian depan otak, atau otak depan, yakni talamus,hipotalamus,sistem limbik,basal ganglia, dan cerebrum. Talamus menyampaikan informasi sensorik dari mata ke daerah visual dari koretks. Talamus juga berperan dalam dan perhatian dalam koordinasi dengan struktur-struktur lain, seperti sistem penggerak jaringan.
Hipotalamus adalah suatu struktur sangat kecil yang terletak diantara talamus dan kelenjar pituitaria. Hipotalamus sangat penting dalam mengatur suhu tubuh, konsentrasi cairan, penyimpanan zat-zat makanan, motivasi, dan emosi. Pada binatang lebih rendah, perangsang hipotalamus memicu tingkah laku khusus, seperti berkelahi, kawin, dan membuat sarang. Hipotalamus sangat penting untuk manusia, tetapi tingkah laku manusia dalam memberikan respon terhadap pesan-pesan dari hipotalamus kurang khas dan lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas kognitif, seperti pikiran,pilihan, dan sistem-sistem nilai.
Hipotalamus adalah bagian dari sistem limbik dengan bagian dari talamus dan struktur-struktur lain. Sistem limbik berfungsi untuk mengingat, dan dorongan-dorongan lapar, seks, dan agresif.
Bangsal ganglia berada dibawah koretks di depan talamus. Bangsal ganglia membantu mengatur gerakan-gerakan dan koordinasi sikap tubuh.
Cerebrum befungsi membuat kepala menjadi bundar. Permukaan cerebrum berbelit-belit berbentuk bukit dan lembah. Permukaan ini disebut sebagai korteks serebral (cerebral cortex). Belahan-belahan dari korteks serebral dihubungkan oleh suatu berkas serabut tebal yang disbeut corpus callosum.
Dua bagian terpenting dari sistem saraf tepi adalah  sistem saraf otonomi dan sistem saraf somatik. Pesan-pesan dari otak ke sistem saraf somatik mengatur gerakan-gerakan tubuh yang disengaja , sperti mengangkat lengan, mengedipkan mata, atau berjalan, bernapas, dan gerakan-gerakan halus yang mempertahankan sikap tubuh dan keseimbangan.
Para psikolog sangat tertarik pada sistem saraf otonomi karena aktivitas-aktivitasnya dihubungkan dengan respon emosional. Sistem saraf otonom mengatur kelenjar,dan gerakan-gerakan diluar kemauan (tidak berada dibawah kendali), seperti denyut jantung, pernapasan, pencernaan.
Sistem saraf otonom terbagi menjadi dua cabang, yakni cabang simpatik dan parasimpatik. Cabang simpatik sangat terlibat dalam proses-proses yang mengambil energi tubuh dari simpanan cadangan yang membantu menyiapkan individu untuk menangkis ancaman-ancaman atau bahaya. Cabang parasimpatik merangsang pencernaan, tetapi cabang simpatik merintangi aktivitas pencernaan. Karena cabang simpatik dominan, maka bila kita takut atau cemas, ketakutan atau kecemasan tersebut menyebabkan kita tidak sanggup mencerna.
Korteks serebral
Apa yang dinamakan daerah-daerah asosiasi dari korteks serebral terlibat dalam belajar, pikiran, ingatan, dan bahasa. Dalam banyak hal korteks serebral meniru fungsi-fungsi satu sama lain, tetapi tidak mutlak sama karena 96 % orang-orang menggunakan lengan kanan, belahan kiri korteks serebral mengandung fungsi-fungsi bahasa dan dominan (Rasmussen & Milner,1975).
Sistem Saraf dan Tingkah Laku
Sistem hadiah meliputi hipotalamus dan struktur-struktur sistem limbik. Sistem limbik adalah bagian dari selaput otak yang lebih rendah dan primitif serta ada hubungannya dengan fungsi-fungsi emosional dan motivasional. Hipotalamus terletak pada langit-langit mulut tidak hanya memainkan peran dalam motivasi dan emosi, tetapi juga memiliki hubungan dengan banyak daerah lain dalam otak. Disamping itu,otak memproduksi zat-zat yang disebut endofrin yang mengaitkan reseptor-reseptor. Endofrin itu bahkan merupakan analgesik (penghilang rasa sakit) yang lebih ampuh dibandingkan dengan opium dan bila diberikan secara langsung akan menjadi zat adiktif.
Endofrinn bekerja seperti anak kunci dengan lubang kunci, yang berati endofrin itu hanya cocok dengan reseptor khusus. Karena endofrin itu sama dengan opium dan bahan kimia yang terkait, maka pengetahuan yang bagaimana endofrin itu bekerja menghasilkan suatu pemahaman yang lebih baik tentang ketergantungan obat (zat) dan perawatannya. Tentu saja faktor-faktor lingkungan, psikososial, dan faktor-faktor kepribadian penting juga dalam mempengaruhi tingkah laku adiktif yang aktual.
Sistem Endokrin
Beberapa kelenjar, yakni kelenjar pituitaria, tiroid, adrenal, gonadal, dan juga bagian dari pankreas yang memproduksi insulin membentuk sistem insulin membentuk sistem endokrin. Tidak sepertin kelenjar air liur atau kelenjar air mata, kelenjar-kelenjar endokrin tidak memiliki  saluran untuk melepasakan zat-zat yang diproduksinya. Kelenjar-kelenjar endokrin melepasakan zat-zat tersebut ke dalam aliran darah, yang membawa zat-zat tersebut ke semua bagian tubuh. Hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar endokrin bertindak sebagai pesuruh atau kurir kimia (kata “hormon” berasal dari bahasa Yunani yang artinya pesuruh).
Hormon-hormon sangat kuat, dan dengan demikian sangat sedikit hormon yang diperlukan untuk mempengaruhi sel-sel tertentu yang dituju. Stetlah sel-sel itu menerima hormon, mereka memprakarsai serentetan perkembangan di dalam sel yang didiktekan oleh hormon.
Contoh-contoh stresor yang diberikan oleh kelenjar-kelenjar endokrin adalah faktor fisiologis (misalnya kuman-kuman penyakit) dan pengalaman psikologis (misalnya penerimaan penghinaan atau cercaan atau terlibat dalam peretmpuran). Hormon-hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar-kelenjar membantu kita mengarahkan sumber-sumber daya fisik dan berjuang melawan stresor atau melarikan diri.
Pada saat stress, otak digiatkan dan mengirim impuls-impuls saraf kepada salah satu diantara struktur-strukturnya, yakni hipotalamus yang dekat dengan kelenjar pituitaria. Hipotalamus melepaskan zat yang disebut corticotrophin-realising factor (CRF) yang pergi ke pituitaria untuk membentuk dan melepaskan bahan kimia lain, yakni adrenocorticotrophic hormone (ACTH) yang dilepaskan kedalam aliran darah dan langsung menuju ke korteks adrenal, dan disana dia menyebabkan korteks adrenal membentuk dan melepaskan steroid-steroid kortikal (adrenal corticosteroids atau cortical steroids) yang mempengaruhi respon otak dan tubuh terhadap stres mental dan fisik.
Pankreas mengatur tingkat gula dalam darah melalui hormon-hormon insulin dan glukagon.ciri dari diabetes mellitus ialah kadar gula dalam darah dan air kencing berlebihan (hyperglicemia) yang dapat menyebabkan coma kematian. Diabetes disebabkan oleh skeresi dan penggunaan insulin berkurang.
Kelenjar tiroid memproduksi tiroksin. Kekurangan tiroksin menyebabkan  cretinisme pada anak-anak, suatu gangguan yang bercirikan retredasi mental dan pertumbuhan terhambat (individu kerdil). Jika pada orang dewasa kekurangan tiroksi mengalami hipotirodisme. Yang dapat menyebabkan berat badan bertambah, jika berlebihan dapat menyebabkan hipotirdisme dengan cirinya adalah cepat marah,insomnia, dan sberat badan berkurang.
Ketakolamin-ketakolamin adrenalin dan nonadrenalin dilepaskan oleh adrenal medula. Adrenalin (disebut juga epinefrin) dilepaskan hanya oleh kelenjar-kelenjar adrenal, sedangkan nonadrenalin (juga disebut norepinefrin) dihasilkan dihampir semua bagian dalam tubuh.
Karakteristik-karakteristik jenis kelamin sekunder membedakan jenis kelamin dan dibutuhkan dalam reproduksi. Contohnya adalah organ-organ seks pria. Karakteristik-karakteristik jenis kelamin sekunder, seperti pertumbuhan janggut dan suara berat dan agak keras, akan membedakan jenis kelamin, tetapi tidak dibutuhkan dalam reproduksi. Tingkat-tingkat testoteron berbeda-beda sesuai dengan stress dan perasaan senang yang dialami individu,tetapi tetap dijaga supaya tetap seimbang oleh hipotalamus,kelenjar pituitaria, dan testis (buah pelir). Beberapa minggu setelah kehamilan, kelenjar ini menggiatkan perkembangan prenatal dari organ-organ jenis kelamin pria. Selama  masa pubertas, kelenjar ini membantu perkembangan otot dan tulang serta pematangan karakteristik-karakteristik jenis kelamin dan sekunder. Karakteristik-karakteristik jenis kelamin primer membedakan jenis kelamin dan dibutuhkan dalam reproduksi.
Ovarium (indung telur) mengeluarkan estrogen dan progesteron. Estrogen adalah nama kolektif untuk sejumlah hormon jenis kelamin wanita yang memacu perkembangan kapasitas reproduktif wanita dan karakteristik-karakterisitk jenis kelamin sekunder. Hormon ini menyebabkan penimbunan lemak pada buah dada dan dipinggul. Progesteron juga memiliki banyak fungsi. Kelenjar ini menyebabkan pertumbuhan organ-organ reproduksi wanita dan melindungi kehamilan.
Perkembangan Neuroscience
Neuroscience bertujuan untuk memahami hubungan antara struktur dan fungsi, serta pikiran-pikiran,perasaan-perasaan dan tingkah laku manusia. Neuroscience terdiri dari:
  1. Neuroanatomi : penelitian tentang struktur otak
  2. Neuropatologi :penelitian tentang proses-proses penyakit yang mengontrol fungsi otak
  3. Neurofarmakologi : penelitian tentang pengaruh  dari obat terhadap otak
  4. Neuropsikologi : penelitian tentang hubungan antara bermacam-macam fungsi psikologis atau mental dan struktur otak
  5. Neuroendrokrinologi : penelitian tentang hubungan antara fungsi grandular dan fungsi otak
Semakin banyak penelitian neuroscience dilakukan, maka semakin jelas juga bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan penyakit mental. Sampai sekarang kita hanya mengetahui sebagian besar penyebab-penyebab penyakit mental. Beberapa bentuk penyakit mental yang disebabkan oleh tipe-tipe berbeda dari abnormalitas-abnormalitas otak, termasuk hilangnya sel-sel saraf  dan kelebihan atau kekurangan transmisi kima antara neuron-neuron. Kita juga dapat menghubungkan beberapa tingkah laku maladaptif dengan cacat atau kerusakan pola saluran dan aliran elektrikal dalam sistem saraf, dengan cacat pada pusat komando otak, atau dengan cara impuls-impuls saraf bergerak melalui sistem saraf. Tendensi untuk mengembangkan abnormal-abnormal itu mungkin terdapat dalam keluarga, dan dengan demikian abnormalitas itu bersifat herediter. Banyak faktor lingkungan (misalnya infeksi, makanan, luka pada kepala, atau juga shock atau stress dalam kehidupan sehari-hari)
Shaking palsy merupakan penyakit dimana orang yang menderita gangguan ini selalu gemetar (terutama pada tangan) dann juga terkadang cenderung menjadin kaku, kadang-kadang sampai sedemikian rupa sehingga pasien hampir lumpuh. Orang yang menderita gangguan ini (terutama yang berusia lanjut) mengalami kehilangan ingatan, disorientasi, dan kemampuan untuk menilai berkurang. Kehilangan sel-sel saraf pada bagian tertentu dari otak yang dinamakan substantia nigra. Para ahli neurokimia telah memperlihatkan bahwa abnormalitas-abnormalitas tertentu ikut menyebabkan kehilangan ini. Para ahli farmakologi melakukan penelitian dan menemukan bahwa bila kepada pasien-pasien Parkinson diberikan zat yang disebut L-dopa, maka cacat neurokimia ini dapat diperbaiki. Penggunaan L-dopa telah mengubah secara cepat perawatan terhadap Parkinson’s disease. Pasien yang menggunakan L-dopa sering memperlihatkan simtom-simtom berkurang, terutama kekakuannya. Banyak orang yang hampir lumpuh sekarang dapat menjalani hidup yang normal.
Para ahli neuroscience dapat memperlihatkan bahwa tingkah laku, persepsi, dan kognisi adalah akibat dari tindakan-tindakan yang terintegrasi dari jaringan-jaringan sel saraf. Memahami aktivitas-aktivitas yang kompleks dari sistem saraf mendorong orang untuk mengidentifikasikan hubungan-hubungan anatomi yang relevan dan faktor-faktor kimia. Teknik-teknik yang canggih sekarang memberi kemungkinan untuk melewati peristiwa molekular yang berbeda yang terjadi pada sinapsis sehingga dapat dilakukan perawatan yang bermanfaat.
Teknik-teknik baru untuk meneliti anatomi otak orang-orang yang masih hidup adalah CT (computerized tomography) dan MRI (magnetic resonance imaging). Teknik-teknik ini didasarkan pada kemampuan gelombang-gelombang elektromagnetik (sinar-X) dan sinyal-sinyal frekuensi radio untuk menembus jaringan tulang. Dengan teknik CT, dan MRI, sinyal dari bagian luar kepala diubah oleh bagian dari dalam kepala menjadi suatu sinyal yang dapat digunakan untuk mencari keterangan. Teknik lain adalah  PET (Positron Emission Tomography) scan memungkin orang meneliti fisiologi otak dalam orang-orang yang hidup dan menyajikan gambar-gambar dari metabolis, aliran darah di otak, dan ciri-ciri dari neurotansmisi, penggunaan PET scan telah memberikan pemahaman yang lebih besar terhadap peran neurotransmiter-neurotransmiter dalam fungsi otak dan gangguan-gangguan mental.
Psikoneuroimunologi
Psikoneuroimunologi adalah suatu bidang penelitian baru yang menghubungkan proses-proses psikologis,neural, dan imunologis. Banyak dokter yang telah memperhatikan hubungan antara kehilangan yang penting, seperti kematian orang yang dicintai dan penyakit yang menyusul. Hipotesis bahwa stres yang ditimbulkan oleh kehilangan atau pemisahan yang hebat menggunkan sistem kekebalan tubuh dan dengan demikian ikut menyebabkan sejumlah penyakit fisik.
Sistem kekebalan utbuh memiliki dua tugas pokok, yakni mengetahui adanya benda-benda asing (yang disebut anitgen) dan menonaktifkan atau menghilangkan benda-benda itu. Sistem kekebalan mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit. Sistem kekebalan tersebut terdiri dari beberapa kelompok sel yang dinamakan limfosit-limfosit. Penelitian berikutnya telah memperlihatkan bahwa kehilangan yang disebabkan oleh kematian salah seorang dari anggota pasangan yang kawin ada hubungannya dengan supresi terhadap kekebalan dan tidak adanya lingkungan sosial yang membantu orang yang kehilangan itu juga dapat menyebabkan supresi terhadap sistem kekebalan (Stein,et al., 1987).
Para ahli psikoneuroimunologi meneliti sekaligus tiga sistem tubuh -sitem saraf, sistem endokrin, dan sistem kekebalan- yang berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya melalui sinyal-sinyal kima yang kompleks. Ada kemungkinan bahwa beberapa orang yang abnormalitas emosional dan behavioralnya berat juga memperlihatkan abnormalitas psikoneuorimunologis. Kemungkinan hal ini sedang diteliti terutama pada orang-orang yang menderita salah satu dari dua kondisi psikologis yang berat, yakni skizofrenia dan depresi.
Komentar tentang Pendekatan Fisiologis
penelitian fisiologis menghasilkan banyak hal dan memberikan harapan untuk masa depan. Penggunaan obat-obatan untuk beberapa gangguan didasarkan pada pengetahuan tentang aktivitas-aktivitas neurotransmiter dan hormon. Obat-obatan digunakan untuk berbagai macam pola tingkah laku abnormal, termasuk gangguan yang ada hubungannya dengan kecemasan, gangguan-gangguan suasana hati, dan skizofrenia.
Dalam beberapa kasus, para peneliti menemukan bahwa kombinasi pendekatan psikologis dan kemoterapi mungkin lebih efektif daripada hanya dengan salah satu pendekatan. Dalam kasus lain, salah satu pendekatan mungkin lebih efektif. Suatu kekurangan yang penting pada pandangan fisiologis  adalah pandangan ini tidak menjelaskan apa sebabnya individu mengembangkan simtom-simtom kognitif tertentu. Dengan demikian, pandangan fisiologis harus bekerja sama dengan pandangan-pandangan lain untuk menjelaskan tingkah laku maladaptif (abnormal). Ada kemungkinan faktor-faktor fisiologis dapat mempredisposisikan para individu terhadap tipe-tipe gangguan umum dan kemudian pengalaman-pengalaman pribadi individu memberi bentuk bagi gangguan-gangguan itu.
PENDEKATAN HUMANISTIK-EKSISTENSIAL
Pandangan humanistik-eksistensial adalah suatu pandangan yang agak baru untuk memahami tingkah laku abnormal dan dalam banyak hal dikembangkan sebgai reaksi melawan pandangan-pandangan lain. Para pendukung pandangan ini tidak menerima pandangan yang mengemukakan bahwa manusia adalah produk dari dorongan-dorongan tak sadar, pengondisian (conditioning), dan fisiologi. Para humanis dan eksistensialis mengemukakan bahwa manusia adalah makhuk sadar yang memilih secara bebas tindakan-tindakannya, dan karena pilihannya yang bebas itu maka setiap manusia berkembang sebagai seorang individu yang unik.
Pandangan humanistik-eksistensial kadang-kadang disebut pendekatan fenomenologis. Fenomenologi adalah pendekatan fisiologis yang bertolak dari gagasan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dan bukan melalui pikiran dan intuisi.
Pandangan humanistik-eksistensial sesungguhnya bukan hanya satu pendektaan sistematis untuk menjelaskan tingkah laku, melainkan suatu kumpulan ide dari sejumlah teori.
Pandangan Humanis
Ciri yang sangat penting dari pandangan humanis adalah keyakinan bahwa individu dimotivasikan oleh pertumbuhan positif ke arah keparipurnaan, kesempurnaan, keunikan pribadi, dan kepenuhan diri sendiri. Dengan kata lain, para humanis berpendapat bahwa individu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari bawah, dari luar, atau dari dalam individu seperti yang dikemukakan oleh pandangan-pandangan lain, melainkan individu di dorong keatas, yakni pada suatu keadaan perkembangan pribadi yang lebih tinggi. Pada hakikatnya pandangan para humanis lebih positif dan optimistik tentang perkembangan manusia dibandingkan dengan pandangan yang dikemukakan oleh teori lainnya.
Carl Rogers (1902-1987)
Sebelum menjadi psikolog Carl Rogers merupakan seorang pendeta, ia berpendapat bahwa manusia cenderung membangun dirinya dengan kebebasan memilih dan bertindak. Pandangan Rogers disebut self-theory karena ia tertarika pada self sebagai eksekutif kepribadian. Bagi Rogers, self merupakan pembawaan sejak lahir dan merupakan gestalt konseptual yang terorganisasi dan konsisten yang terdiri dari persepsi-persepsi tentang karakteristik-karakteristik “saya” atau ”aku” dan persepsi-persepsi tentang hubungan-hubungan “saya” atau “aku” dengan orang-orang lain, dan dengan bermacam-macam aspek kehidupan bersama dengan nilai-nilai yang diletakkan pada persepsi-persepsi itu (Rogers, 1959:200).
Rogers berpendapat bahwa orang-orang memiliki cara yang unik untuk melihat diri mereka sendiri dan dunia yang disebut Rogers frame of refrence (kerangka acuan) yang unik. Rogers mengemukakan bahwa kita semua mengembangkan suatu kebutuhan akan penghargaan diri dan penghargaan diri kita terbungkus dalam cara bagaimana kita bertindak sesuai dengan cita-cita kita.
Uraian lengkap dari teori Rogers akan dikemukakan dalam bagian berikut, tetapi hanya perlu dikemukakan bahwa Rogers juga mengembangkan suatu metode psikoterapi yang dinamakan person-centered therapy atau client-centered therapy.
Pandangan tentang manusia
Suatu pandangan yang singkat yang dikemukakan Rogers perlu disajikan dalam suatu teori formal.
  1. Percaya kepada martabat manusia. Rogers percaya akan martabat dan harga diri setiap individu. Dia melihat bahwa manusia sebagai orang yang mampu mengambil keputusan sendiri dan dia mengamati hak setiap individu untuk berbuat demikian. Sebagai kesimpulan dari keyakinannya ini ialah kebutuhan masyarakat sangat baik dilayani oleh proses dan lembaga sosial yang mendorong individu untuk mandiri dan “memimpin dirinya sendiri” (self directing).
  2. Mengutamakan hal yang subjektif. Rogers dan dia berkeyakinan bahwa hal yang subjektif itu juga meluas sampai pada sebagian besar tingkah laku manusia dan tidak hanya terbatas pada praktek terapi. Manusia pada hakikatnya hidup dalam dunia pribadi dan subjektifnya sendiri, dan bahkan fungsi-fingsinya yang sangat objektif dalam i;mu pengetahuan, matematika, dan sebagainya merupakan akibat dari tujuan dan pilihan subjektifnya.
  3. Tendensi kearah aktualisasi. Tendensi yang terarah ini sekarang disebut tendensi aktualisasi (actualizing tendency), yang didefinisikan sebagai tendensi yang melekat pada organisme untuk mengembangkan semua kapasitasnya dan cara-cara yang bertujuan untuk mempertahankan tau meningkatkan organisme. Kehidupan adalah suatu kehidupan yang aktif bukan pasif, dimana organisme berinteraksi dengan lingkungannya dalam cara-cara yang dirancang untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengembangkan dirinya sendiri. Tendensi aktualisasi diungkapkan secara berbeda-beda dalam spesies yang berbeda-beda pula. Pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, kecenderungan aktualisasi berkenaan dengan kebutuhan-kebutuhan fisiologis dasar akan makanan, air, dan udara. Karena itu, kecenderunga aktualisasi itu memungkinkan organisme hidup terus dengan mempertahankan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah dasar.
Aktualisasi berbuat jauh lebih banyak dari pada mempertahankan organisme, aktualisasi juga memudahkan dan meningkatkan pematangan dan pertumbuhan. Pematangan yang penuh tidak dicapai secara otomatis, meskipun pada dasarnya ”blue-print” proses pematangan terkandung dalam struktur genetik individu.
Dalam pandangan Rogers, kecenderungan untuk aktualisasi sebagai suatu tenaga pendorong adalah jauh lebih kuat daripada rasa sakit dan perjuangan serta setiap dorongan yang ikut menghentikan usaha untuk berkembang. Dengan demikian, aktualisasi diri akan dibantu atau dihalangi oleh pengalaman dan pembelajaran, khususnya pada masa kanak-kanak.
  1. Manusia dapat dipercaya. Rogers meyakinkan bahwa manusia pada dasarnya baik dan dapat dipercaya. Manusia tentu dapat berbohong, membenci, kejam, dan bodoh, tetapi dalam pandangan Rogers sifat-sifat yang buruk ini muncul dari sikap defensif yang mengasingkan orang dari kodratnya sendiri. Kalau sikap defensif ini tebuka pada semua pengalamannya, maka manusia akan beregerak kearah cara-cara berpikir untuk dapat bergaul dengan orang-orang lain yang dapat dipercaya. Pandangan Rogers sangat berbeda dengan pandangan beberapa psikoanalisis yang melihat manusia sebagai yang destruktif dan antisosial sejak lahir. Manusia lahir dengan dorongan-dorongan instingtif yang harus dikontrol supaya terjadi perkembangan kepribadian yang sehat.
  2. Manusia lebih bijaksana daripada intelektualnya. Erat hubungannya dengan apa yang dikatakan sebelumnya keyakinan Rogers bahwa manusia lebih bijaksana daripada intelekualnya, lebih bijaksana pada pikiran sadarnya. Apabila manusia berfungsi dengan baik dan tidak defensif, maka dia mempercayai seluruh reaksi organismenya yang sering mengakibatkan penilaian-penilaian lebih baik, bahkan lebih intuitif daripada pikiran sadarnya.
Jika pandangan Rogers dan Whyte yang melihat bagaimana manusia berfungsi sangat baik adalah tepat, maka mengapa sering kali pikiran dan fungsi sadar manusia berselisih atau bertentangan dengan fungsi organismenya.
Pandangan tentang kepribadian
Teori kepribadian Person-centered diuraikan kedalam dalil-dalil formal yang berpautan antara yang satu dengan yang lainnya. Orang-orang yang menyumbangkan teori ini adalah Raimy (1943, 1948) kepada teori tentang diri (self), Snygg dan Combs (1949) kepada penelitian fenomenologisnya, dan Standal (1954) kepada teori perkembangan pada masa kanak-kanak
  1. Dalam pandangan psikologi, organisme adalah tempat dari seluruh pengalaman. Pengalaman meliputi segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam kesadaran organisme pada setiap saat. Keseluruhan pengalaman ini disebut Medan fenomenal atau medan perseptual, atau juga disebut medan eksperiensial. Medan fenomenal itu adalah dunia privat individu (individual frame of reference) yang hanya dapat diketahui oleh orang itu sendiri. Medan fenomenal tidak dapat diketahui oleh orang lain kecuali melalui empatic inference dan walaupun demikian tidak dapat diketahui dengan sempurna. Bagimana individu tergantung pada medan fenomenal itu (kenyataan subjektif) dan bukan pada keadaan yang merangsang (kenyataan luar). Medan fenomenal ini tidak identik dengan medan kesadaran. Kesadaran adalah perlambangan dari sesuatu yang kita alami. Dengan demikian, medan fenomenal terdiri dari pengalaman sadar (dilambangkan) dan pengalaman tak sadar (tidak dilambangkan).
  2. Organisme bereaksi terhadap medan itu sebagaimana dia mengalami dan mempersepsikannya. Bagi individu medan perseptual ini adalah realitas. Tingkah laku pada dasarnya merupakan organisme yang terarah kepada tujuan untuk memuaskan kebutuhannya sebagaimana dialami dalam medan fenomenal yang dipersepsikan. Dua dalil tersebut diatas menekankan bahwa kita tidak beraksi terhadap suatu realitas yang absolut, melainkan terhadap persepsi-persepsi kita mengenai realitas itu. Rogers mengemukakan bahwa manusia selalu memeriksa persepsi-persepsinya antara yang satu terhadap yang lainnya untuk membuatnya sebagai pedoman yang lebih dapat diandalkan terhadap kenyataan. Setiap persepsi yang berlaku sebagai hipotesis harus diuji dengan persepsi-persepsi lebih lanjut. Fakta psikologis penting yang harus diperhatikan adalah realitas dari orang tertentu merupakan persepsinya terhadap realitas itu dengan tidak menghiraukan apakah persepsinya itu telah diuji dan dikukuhkan atau tidak.
  3. Tingkah laku dapat dipahami dengan baik dari kerangka acuan internal individu itu sendiri. Rogers mendefinisikan kerangka acuan internal (internal frame of referance) sebagai “seluruh bidang pengalaman yang tersedia bagi pengalaman individu pada saat tertentu. Memahami orang lain dari kerangka acuan internal adalah memusatkan perhatian pada realitas subjektif yang ada pada pengalaman orang itu pada saat tertentu. Untuk mencapai pemahamn ini dibutuhkan empati. Sebaliknya, memahami orang lain dari kerangka acuan eksternal (external frame of reference) adalah melihatnya tanpa empati, sebagai suatu objek, yang biasanya bertujuan untuk menekankan realitas objektif. Objek-objek seperti kayu atau elektron tidak memiliki pengalaman, oleh karena itu tidak dapat berempati dengannya. Rogers melihat kerangka acuan ekstrenal dan internal sebagai dua cara mengetahui yang berebeda, namun keduanya berguna. Teorinya tentang terapi dibangun atas pemahaman terhadap kerangka acuan internal pasien sedangkan hipotesis-hipostesisnya tentang teori dapat diverifikasikan hanya dengan menggunakan kerangka acuan eksternal.
  4. Kebanyakan cara-cara bertingkah laku yang digunakan organisme adalah cara-cara yang cocok merupakan self-concept-nya. Self-concept merupakan suatu gagasan yang sangat penting dalam sistem teori person-centered. Bagi Rogers, self-concept merupakan gestal konseptual yang terorganisasi dan konsisten yang terdiri dari persepsi individu tentang dirinya sendiri dan dirinya dalam hubungannya dengan orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi ini. Kalau dikemukakan secara informal, self-concept merupakan gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya bersama dengan penilaiannya tentang gambaran ini. Pentingnya diri sebagai pengatur tingkah laku merupakan salah satu ide paling awal yang ditekankan oleh kelompok person-centered, dan diri ini sangat penting dalam terapi mereka lama sebelum bagian-bagian lain dari teori kepribadian dikembangkan. Banyak ahli teori tertarik kepada diri, tetapi perhatian pertama-tama diarahkan kepada pentingnya diri itu dalam terapi person-centered karena pasien selalu berbicara mengenai “diri”mereka setelah benar-benar terlibat dalam terapi. Setelah diadakan observasi dan penelitian klinis bertahun-tahun, maka jelas bahwa sikap terhadap diri merupakan faktor penting yang menentukan tingkah laku. Perubahan tingkah laku dan sikap pasien terhadap orang-orang lain kelihatannya diakibatkan oleh terjadinya perubahan sikap terhadap diri-nya.
  5. Tidak seperti ahli-ahli teori klinis lain, seperti Freud,Sullivan, dan Erickson, Rogers tidak memberikan jadwal waktu dari fase-fase penting yang dilalui orang dari masa bayi hingga masa dewasa. Sebaliknya, dia memusatkan perhatian pada cara-cara bagaimana penilaian orang terhadap individu , khusunya selama masa kanak-kanak, cenderung memisahkan pengalaman-pengalaman organisme dan pengalaman-pengalaman diri.
  6. Proses penilaian organismik. Ketika seorang anak mulai hidup, dia menilai pengalamannya berdasarkan kriteria dasar aktualisasinya yang telah dikemukakan sebelumnya sebagai satu-satunya motif yang didalilkan oleh sistem teoritis.
  7. Perkembangan self-concept. Beberapa pengalaman (medan fenomenal) anak itu berdiferensiasi dan dilambangkan sebagai kesadaran dari ada.  Pengalaman-pengalaman ini adalah  pengalaman-pengalaman diri dan akhirnya sebagian dari pengalaman ini berdiferensiasi lagi menjadi self-concept. Demikian juga sebagian dari tendensi  aktualisasi berdiferensiasi menjadi tendensi kearah aktualisasi-diri (self-actualization). Segi dari self-concept digambarkan dengan bertambahnya kata “aku” dan “kepunyaanku”.
  8. Perkembangan kebutuhan akan positive regard (penghargaan positif). Ketika kesadaran akan diri muncul, anak itu juga mengembangakan suatu kebutuhan akan positve regard yang dapat dilihat secara kasar sebagai kebutuhan akan kehangatan dan cinta dari ibunya. Kebutuhan ini memaksa dan merembes, dan kebutuhan ini juga dimiliki oleh semua manusia. Self-concept berkembang dari anak itu sangat dipengaruhi oleh ibu. Bagaimana kalau ibu tidak memberikan positive regard kepada anak itu? Bagaimana kalau ihu mencela dan menolak tingkah laku ankanya? Anak itu mengamati suatu celaan (meskipun celaan itu berfokus pada salah satu aspek tingkah laku) sebagaisuatu celaan yang luas dan tersebar dalam setiap aspek adanya. Dalam hal ini anak mengharapkan bimbingan tingkah lakunya dari orang-orang lain, bukan dirinya sendiri. Karena dia telah merasa kecewa, maka akan kebutuhan positive regard yang sekarang bertambah kuat makin lama makin mengerahkan enrgi untuk positive regard dengan mengorbankan aktualisasi-diri.
  9. Perkembangan kebutuhan akan positive self-regard (penghargaan diri positif). Pengalaman dicintai atau tidak dicintai akan melekat pada pengalaman-pengalaman diri dan demikian juga melekat pada self-concept yang berkembang. Akibatnya adalah kebutuhan akan positive self-regard yang dipelajari juga berkembang.
  10. Perkembangan syarat-syarat penghargaan .perkembangan kebutuhan akan positive regard (penghargaan positif) mendorong anak mencari pengalaman-pengalaman bukan karena pengalaman-pengalaman tersebut memuaskan tendensi aktualisasinya, melainkan karena memuaskan kebutuhan dari cinta ibunya. Bila pengalaman-pengalaman self (diri), maka penglaman-pengalaman tersebut juga memuaskan kebutuhan akan positve self-regard yang dipelajari. Dengan demikian, kebutuhan akan positive self-regard juga bersifat selektif.
  11. Perkembangan ketidakselarasan antara diri dan pengalaman. Ketidakselarasan antara self-concept dan pengalaman merupakan konsep utama dalam teori person-centered. Suatu ketidakselarasan terjadi bila slef-concpet individu dengan pengalaman aktual organismenya.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pengalaman-pengalaman self yang selaras dengan proses penilaian organismik dan syarat-syarat penghargaan tidak menimbulkan masalah. Pengalaman self itu secara akurat dipersepsikan dan dilambangkan dalam kesadaran dan diinkonporasikan kedalam self-concept. Tetapi, pengalaman-pengalaman self yang bertentangan dengan syarat-syarat penghargaan jika dipersepsikan secara akurat dan diasimilasikan akan mencegha kebutuhan anak akan “positive self-regard” (penghargaan diri positif).
Gambaran dan penerapan dalam pengasuh anak. Perhatikan, misalnhya, anak kecil yang baru menemukan cangkir-cangkir teh dari ibu nya. Anak kecil biasanya tertarik kepada dunia di sekitarnya , dan anak itu akan menggunakan panca indranya untuk memeriksa cangkir-cangkir teh tersebut. Dia memperhatikan bentuk dan warnanya. Dia coba merasakan apakah cangkir teh itu keras atau lembut, dia memasukan cangkir teh itu ke dalam mulutnya untuk mengetahui bagaimana rasanya. Dia mengayunkannnya ke udara untuk mengetahui beratnya dan dia memukulnya pada sesuatu yang lain untuk mendengar bagaimana bunyinya. Ibu yang melihat ini, mengambil secara paksa cangkir teh dan menghempaskan anak itu ( tidak lemah lembut dan kasih sayang) kedalam box dan menyebutnya sebagai anak yang nakal dan jahat. Dengan demikian, suatu pengalaman yang secara organismik memuaskan,  sekarang di asosiasikan dengan kehilangan cinta dan berkurangnnya harga diri.
Dalam teori, ketidakselarasan antara self dan pengalaman tidak akan berkembang jika anak tidak dapan membedakan pengalaman dirinya yang lebih atau kurang pantas mendapat cinta dari pengalaman diri yang lain. Dalam praktek, ini tidak pernah terjadi. Tetapi ketidak selarasan akan sedikit berkurang jika beberapa pengalaman dirinya memperoleh cinta dan penerimaan.
Dalam peraktek, ibu menghargai cangkir-cangkir teh dan wajar dia kecewan dan marah bila cangkir-cangkir teh tersebut pecah semakin kemarahan ini mengganggu gambaran diri yang di pegangnya kuat-kuat mengenai apa yang dipikirkannya menjadi seorang ibu yang baik
(syarat-syarat penghargaannya), maka dia mungkin juga semakin mengungkapkan penyebab dari kemarahan itu, yakni tingkah laku “jelek” dari anaknya. Sebaliknya , semakin dia terbuka kepada pengalammnya, maka dia semakin dapat menerima kemarahannya itu sebagai tanggung jawabnya sendiri.

Ancaman dan proses pertahanan. Ciri hakiki dari ancaman adalah jika pengalaman (yang tidak selaras dengan self-concept) tidak di lambangkan secara akurat dalam kesadaran, maka self-concept todak akan lagi menjadi suatugestalt yang cocok, syarat syarat penghargaan ( yang di inkorporasikan di dalan diri) akan terganggu, dan kebutuhn akan self regard akan di gagalkan. Dan akibatnya adalah terjadinya kecemasan.


Proses perubahan.  Untuk mengubah ancaman dan pertahan, self-concept harus menjadi lebih selaras dengan pengalamn pengalaman actual organism. Tetapi, perubahan perubahan dalam struktur diri di tolak karena perubahan-perubahan ini akan mengganggu yarat syarat penghargaan dan kebutuhan yang di pelajari terhadap positive self-regard.
Artinya, harus terjadi pembalikan syarat syarat yang telh di jelaskan dalam bagian yang membicarakan perkembangan anak. Teori terapi menggambarkan syarat sayarat yang memungkinkan terjadinya ,perubahan. Tujuannya ialah untuk mengendurkan sedikit demi sedikit batas batas selft concept pasien sehingga selft concept nya bisa mengasimilasikan pengalam pengalaman yang di tolak dan didistrosikan. Dengan demikian, selft menjadi lebih selaras dengan pengalaman.

Penyesuaian diri optimal atau orang yang berfungsi sepenuhnya. Orang yang menyesuaikan diri secara ideal adalah orang yang benar benar terbuka pada semua pengalaman. Memang pengalaman pengalamannya tidak selalu berada dalam kesadaran, tetapi pengalaman pengalaman tersebut selalu tersedia bagi kesadaran dalam bentuk lambing yang akurat. Artinya, individu tersebut tidak memperlihatkan sifat defensive. Tidak ada syarat syarat penghargaan, dan dia mengalami uunconditional positive self regard. Selft conceptnya selaras dengan pengalamannya dan dia bertindak berdasarkan tendensi dasar akutualisasinya yang juga mengaktualisasikan diri. Karena pengalaman pengalamnnya berubah ketika dia mengalami situasi situasi hidup yang berbeda, maka struktur dirinya selalu menjadi suatu gestalt yang cair dalam proses mengasimilasikan  pengalam pengalamn baru. Individu mengalami dirinya sendiri  bukan sebagai ada yang statis, melainkan  sebagai suatu proses menjadi.
Sumber kesulitan. Masalah masalah emosional dan behavioral berkembang bila individu mengintroyeksikan ( menerima atau mengambil)  nilai dari orang orang lain yang tidak sesuai dengan motof aktualisasi dirinnya menerima nilai nilai yang tidak selaras dengan motif aktualisasi individu berakibat syarat syarat penghargaan. Misalnya, seorang anak mungkin menerima nilai nilai dari orang tuanya bahwa sex itu kotor dansa itu buruk. Rogerds menambahkan bahqa seorang anak mudah di pengaruhi oleh orang orang lain karena membutuhkan positive regard.
Bila seseorang memiliki syarat syarat penghargaan,  maka akibatnya adalah beberapa tingkah laku di hargai secara positive (misalnya menghindari semua kegiatan yang bersifat sexual) oleh orang itu , sedangkan barinnya sendiri yang mengalami perbuatan perbuatan memuaskan.

Pandangan eksitensial
Dalam tahun tahun tahun segera setelah perang duni berakhir, muncul suatu gerakan populer yang di sebut eksistensialisme dan menjadi gerakan yang terkemuka di eropa dan kemudian menyebar ke amerika serikat.  Gerakan tersebut muncul dari perlawanan perancis terhadap penduduk jerman dan 2 orang yang sangat fasih adalah jean paul Sartre dan albert camus. Sartre adalah seorang sarjana yang sangat pandai , lulusan sarbonne , yang menjadi ahli filsafat, penulis , dan seorang wartawan politik yang terkenal. Camus , seorang yang berasal dari Algeria, menjadi terkenal sebagai pengarang novel dan esai. Kedua orang tersebut mendapat hadia novel kesusastraan, meskipun satre sendiri menolak hadia tersebut.

Ciri-ciri segi pandangan psikologi eksistensial
Sama seperti aliran aliran lain dalam psikologi yang memiliki cirri cirri khas , demikian juga hal nya psikologi eksistensial. Psikologi eksistensial di sebut sebagai maszhab ketiga dalam psikologi karena psikologi ini tumbuh dan berkembang sebagai reaksi melawan kedua mazhab lain, yakni psikoanalisis dan behaviorisme yang di anggap tiadak berlaku adil dalam mempelajari manusia.

Menentang konsep kausalitas. Pertama tama dan sangat penting , psikologi eksistensial menentang system system psikologi lain yang memakai konsep kausalitas dari ilmu pengetahuan alam dalam psikologi. Tidak ada hubungan antara sebab dan akibat dalam keberadaan manusia. Paling hanya dapat dikatakan ada rangkaian tingkah laku, tetapi tidak ada kausalitas di turunkan dari rangkaian tersebut.
Menentang dualisme. Erat hubungannya dengan keberatan yang pertama adalah psikologi eksistensial sangat menentang dualism antara subjek (pikiran ) dan objek (badan, lingkungan, atau benda )

Menentang ada sesuatu di balik gejala gejala.  Psikologi eksistensial tidak menerima antara ada sesuatu di belakang gejala gejala yang menjelaskan atau menyebabkan gejala gejala tersebut kelihatan.

Menentang teori. Psikologi eksistensial tidak menerima atau curiga terhadap teori karena setiap teori mengemukakakan bahwa sesuatu yang tidak dapat dilihat menghasilkan apa yang di lihat.

Pandangan tentang manusia
Meskipun pendekatan pisio terapi eksis tensial banyak dan tdika sistematis, namun ada bebrapa segi umum pandangan tentang manusia yang melandasi semua pendekatan eksis tensial terhadap psiko terapi.
Ada-di-dunia. Ini adalah konsep dasar dalam pendekatan eksistensial. Seluruh struktur keberadaan manusia berdiri atas dasar konsep ini. Ada di dunia adalah keberadaan manusia .
Manusia adalah sadar. Kesadaran terletak pada pusat subjektif manusia . ia memiliki kapasitas untuk menyadari secara subjektif dengan apah dia berhubunga. Manusia juga memiliki suatu bntuk kesadarn unik yang di sebut kesadaran diri. Kesadaran berarti mengetahui bahaya bahaya dan ancaman ancaman dari luar serta yang berkenan dengan pengalaman pengalamn tenhtang dirinya sendiri sebagai subjek yang memiliki dunia.
Subjek dan dunia tidak dapat di pisahkan. Manusia hidup tidak hanya dalam dunia dirinya sendiri, melainkan sekligus dalam 3 dunia : umwelt ( lingkungan psiologis atau fisik), mitwelt (lingkungan manusia dimana individu dan orang lain sama sama memiliki kesadaran dan saling menyadari), dan eigenwelt ( orang sendiri termasuk badannya).
Manusia adalah unik manusia hidup dalam dunianya sendiri ( eigenwelt) , dalam identitas dirinya sendiri. Manusia juga jarang menghadapi kesendirian :  manusia lahir kedunia sendirian dan mati sendirian pula.
Manusia memiliki kapasitas untuk mngatasi dirinya sendiri. Dengan mengatasi dirinya, manusia keuar dari masa lampau dan masa sekarang dalam kebebasannya untuk memilih dan menjadi. Dengan mengatasi dirinya, manusia memiliki begitu banyak peluang ata kemungkinan untuk mengatasi dunia yang dimilikinya dan memasuki dunia baru.


Pandangan tentang kepribadian
Para penulis eksistensialis tidak menulis tentang teori kepribadian dan ini dengan sengaja di hilangkan bukan kelalaian. Hal ini dapat di lihat dalam semua buku atau tulisan para eksistensialis. Banyak orang yang mengkeritik para eksistensialis karena mereka tidak memeliki teori dan metodologi.
Untuk para eksistensialis, konsespsi tentang manusia rupanya berperanan sebagai teori kepribadian. Para eksistensialis hanya membuat pernyataan tentang manusia yang kelihatnnya relevan dalam memahami perjalanan manusia dari kelahriannya yang tidak di ketahui sampai pada kematiannya yang juga tidak di ketahui.

Penjelasan penjelasan genetic, seperti pengalaman pengalam awal yang menyebabkan prilaku. Tidak dapat di terima oleh para eksistensialis, dan dalam tulisan tulisan mereka, tidak di tekankan suatu urutan urutan peristiwa perkembangan yang merupakan cirri individi yang berkembang. Di lain pihak, mereka mempertahankan bahwa seluruh keberadaan individu merupaka peristiwa historis. Boss misalnya, menyatakan bahwa “seluruh sejarah daseinmelekat dan ada pada setiap saat tertentu”. Sejarah ini tidak terdiri dari fase fase, tetapi terdiri dari cara” keberadaan yang berbeda. Cara keberadaan bayi berbeda dari cara kebardaan kanak kanak, dan cara kebaradaan kanak kanak berbeda dari cara kebaradaan cara anak remaja, tetapi, cara keberadaan itu belum di urai9kan secara terinci

Sumber kesulitan
Dalam pendekatan eksistensial, seorang individu bukan gadaian dari lingkungan dan juga bukan makhluk yang terdiri dari insting insting, kebutuhan kebutuhan,  dan doongan dorongan, tetapi dia memiliki kebebsan untuk memilih dan dia sendiri saja yang bertanggung jawab terhadap keberadaannya. Denga pilihan tersebut, manusia mengatasi baik lingkungan fisik maupun badan fisik. Apa saja yang di lakukan nya adalah pilihannya sendiri. Orang sendiri akan menentukan dia akan menjadi apa dan apa yang akan di lakukannya. Pertanyaan di sini adalah apabila manusia itu bebas, mengapa dia selalu merasa cemas dan bermasalah ? dari segi pandangan eksistensial, kecemasan dan rasa bersalah adalah penting dalam memahami keberadaan manusia. May mengemukakakn bahwa “ kecemasan adalah pengalaman ancaman dari ketiadaan yang segera terjadi. (1958:38). Karena manusia selalu berusaha memenuhi potensi potensinya, maka dia akan mengalami kecemasan, apabila dia mengingkari potensi potensinya, maka dia akan mengalami rasa bersalah. Kecemasan dan rasa bersalah itu dapat di sebabkan oleh bebrapa hal :
  1. Pilihan tidak bijak sana. Kebebasan memilih menjamin bahwa pilihan itu bijak sana.
  2. Dasar keberadaan terbatas. Salah satu hal yang membatasi kebebasan manusia dalam memilih adalah dasar keberadaan kemana dia di lemparan.
  3. Ketiadaan makna. Manusia itu berusaha menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai nilai yang memberi makna kehidupan.
  4. Rancangan dunia sempit. Rancangan dunia adalah istilah yang di gunakan binswanger untuk seluruh pola yang meliputi cara individu ada di dunia.
  5. Suasana hati. Ini adalah suatu sifat yang melekat pada keberadaan manusia (suatu eksistensial) dan bisa menjelaskan juga apa sebabnya keterbukaan pada dunia bisa mengembang dan menyusut dan apa sebabnya kadang menjelaskan gejala gejala yang berbeda.
  6. Keslahan dasar. Kesalahan adalah suatu eksis tensial dan merupakan sifat pokok dasein . manusia pada dasarnya adalah salah dan kesalahan ini tidak dapat di atasi manusia.
  7. Ketakutan terhadap kematian. Sesuatu yang lain yang tidak di elakan oleh siapapun adalah ketakutan terhadap “ketiadaan” atau apa yang di sebut barret. “kemungkinanan yang benar” menakutkan dalam keberadaan manusia” (1962:65) dan menurut heiddeger, “ketiadaan adalah tidak ada dalam ada. Ketiadaan selalu menakutkan dan mencemaskan. Jatuh kedalam’ ketiadaan “ berarti kehilangan ada seseorang, menjadi tidak ada.”

Komentar tentang pendekatan humanistic-eksistensial.

Untuk banyak orang, pandangan humanistic-eksistensial sangat bersifat intuisif, dan mengemukakakan pandangan yang jauh lebih positv tentang manusia di bandingkan dengan pandangan pandangan lain.

Pendekatan sosial budaya
Pandangan para ahli teori sosial budaya hamper sama dengan pandangan humanis dan pandangan eksistensialis. Mereka juga juga berbicara mengenai perasaan perasaan alienasi. Para psikolog sosial budaya berpendapat bahwa peningkatan kesehatan mental individu  bukan hanya tanggung jawab profesi kedokteran saja, melainkan juga tanggung jawab lembaga lembaga sosial yang terorganisasi.

Komentar tentang pendekatan sosial budaya
Pandangan sosial budaya telah menekankan peran lingkungan sosial terhadap emosi emosi dan tingkah laku abnormal (maladaptive).
Pandangan sosial budaya telah berpengaruh dalam menghasil kan pendekan pendakat baru yang kreatif terhadap tingkah aku abnormal pada golongan golongan penduduk yang kebutuhan kebutuhan psikologisnya sampai sekarang di abaikan.


Penulis :
Abdul Karim ( 10512018)
Putu yudha septia dig jaya (13512516)
Muhammad Reynaldy Octavian (15512048)
Toni Hernandi (17512434)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar